21 Jan 2011

BAGAIMANA BELAJAR BISA MENJADI ASIK, BUKAN BEBAN

"Belajar", hmmm...kata yang terdengar mulia, tinggi, tapi selalu berkonotasi "beban". Setidaknya itulah yang dialami para mahasiswa, maupun pelajar, dari SD sampai Perguruan Tinggi. Atau memang begitukah makna belajar? Belajar dilakukan karena adanya masalah, adanya kewajiban atau adanya tuntutan tertentu kepada individu yang melakukannya.

Menurut Slavin dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan proses perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Menurut Gagne dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Definisi di atas adalah definisi bahasa buku, artinya dalam konsep ilmiah ya seperti itu. Oke...kita definisikan secara gampang dan mudah dicerna. Belajar maksudnya adalah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman sehingga orang yang tadinya tidak bisa, orang yang tadinya tidak mampu, orang yang tadinya tidak mengerti menjadi orang yang mampu, orang yang mengerti dan orang yang mampu. Mampu dalam pengertian melakukan hal-hal yang ingin dicapaiannya.

Jadi titik fokus dari belajar adalah perubahan, perubahan dari ketidakbisaan, perubahaan dari ketidakmengertian dan perubahaan dari ketidakmampuan menjadi bisa, mengerti dan mampu (disable to enable). Di dalam pola dan tatakrama (mungkin bisa dikatakan istilah lain dari budaya/kebiasaan) pendidikan di Indonesia yang merupakan budaya warisan dari Belanda yang telah menjajah 350 tahun (kalau gak salah hitung, ini setara dengan tujuh turunan dalam satu keluarga artinya kita dijajah Belanda selama tujuh turunan/generasi), proses belajar lebih banyak difokuskan pada kegiatan doktrinasi. Dalam belajar "Guru/Dosen/Mentor/Tentor" adalah pusat pengetahuan, orang yang paling sempurna. Apa yang disampaikannya pasti tidak salah dan selalu benar. Jadi "Guru/Dosen/Mentor/Tentor" adalah Maha Dewa yang harus dituruti, yang tidak boleh dibantah, yang tidak boleh ditentang, apalagi dilawan.


Kebiasan-kebiasan seperti inilah yang menciptakan pola pembelajaran satu arah, mendengar dan turuti (orang Muslim sering menyebutnya "taklid buta", padahal dalam ajaran Islam hal ini tidak diperbolehkan, orang meyakini sesuatu itu harus ada dasar dan penyelidikan, bukan diterima mentah-mentah) apa yang diucapkan, diarahkan dan diperitahkan para Guru tadi tanpa melakukan analisa dan pertimbangan, tanpa perlu dilakukan penyelidikan dan pembuktian. Di samping itu, sangat sedikit "Guru/Dosen/Mentor/Tentor" yang menguasai tata cara pembuktian-pembuktian dari apa yang diajarkan sehingga lebih banyak teoritis alias mendongeng. Yang lebih parah lagi, tidak ada nalar (pengembangan imajinasi dan kecerdasan) dalam penyampaian suatu topik belajar kepada para peserta ajar (murid, mahasiswa ataupun audiens lainnya) kecuali hanya berpedoman pada literatur (buku, handout, internet atau sumber-sumber tetap) lainnya. Bahkan tidak jarang para peserta ajar hanya diarahkan untuk membaca buku (seperti membaca buku pentunjuk pemakaian alat) tanpa ada arahan lebih lanjut.

Metode lainnya yang sering diterapkan dalam proses belajar adalah hapal mati. Para "Guru/Dosen/Mentor/Tentor" memberikan bahan-bahan ajar atau mengarahkan kepada suatu bahan ajar dengan menyebutkan bahan-bahan itu, tanpa ada penjelasan lebih lanjut (ntah memang malas menjelaskan atau dia juga memang gak ngerti). Semuanya harus dilakukan secara mandiri (kasus ini banyak terjadi pada mahasiswa, untuk murid SD sampai SLTA terjadi ketika metode CBSA=Cara Belajar Siswa Aktif) diterapkan. Alasannya mungkin masuk akal, yaitu agar tercipta kemandirian belajar bagi para peserta ajar (tapi lebih tepatnya menyuruh masuk peserta ajar ke dalam lorong gelap tanpa cahaya).


Setiap kata dalam bahan-bahan ajar tersebut harus dihapal dengan seksama, tidak boleh salah satu huruf pun. Atau dengan kata lain menghapal mantra yang tidak boleh salah diucapkan karena dapat memberikan efek yang berbeda. Jadi dapat disimpulkan, kalau metode-metode belajar seperti ini akan menimbulkan beban yang luar biasa bagi para peserta ajar (bisa dibilang cuci otak untuk menciptakan zombie).

Inilah yang menyebabkan kenapa para peserta ajar (dari SD sampai Perguruan Tinggi) selalu menghadapi masalah dalam belajar, "bosan, tak berguna, dan hanya mengejar nilai". Ya...cuma nilai tidak lebih. Ukuran keberhasilan proses belajar diukur dari seberapa tinggi nilai yang diperoleh, semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka semakin tinggi kesuksesan belajar. Namun, begitu menghadapi masalah ataupun kebutuhan keilmuan untuk memberikan solusi terhadap suatu hal, maka si penerima nilai tertinggi tadi tidak dapat berbuat apa-apa karena memang dia tidak tahu apa-apa kecuali kata-kata dari bahan ajar ataupun dari Guru/Dosen/Mentor/Tentor yang harus dihapal mati. Hakikatnya (esensinya/filosifinya/logikanya) menjadi gelap dan tidak memiliki dasar.

Inilah masalah utama dalam belajar. Akankah kita bertahan dengan cara-cara seperti itu dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari proses belajar? Tentunya hal ini tidak bisa dipertahankan. Kita harus pindah (hijrah) kepada metode belajar yang lebih baik untuk mencapai tujuan belajar sesuai dengan harapan kita. Jika tujuan belajar tercapai, maka nilai tertinggi juga akan tercapai.

Lalu bagaimana pola yang sebaiknya kita gunakan? Kembali kepada penjelasan definisi belajar di atas, bahwa belajar bertujuan menjadikan orang atau sekelompok orang menjadi bisa, mengerti dan mampu melakukan sesuatu. Untuk itu pola belajar yang harus dilakukan adalah mengembangkan daya nalar.
Daya nalar dikembangkan dengan memberikan pengertian dan analisa logika serta hakikat (esensi) dari suatu masalah. Bahkan dalam beberapa kasus, peserta ajar juga diarahkan untuk merasakan suasana yang terjadi dari topik yang diajarkan. Misalnya dalam belajar memasak. Sebelum masuk ke topik menu makanan, alangkah baiknya jika para peserta ajar diberitahukan dan diarahkan untuk merasakan berbagai macam rasa bumbu masak, misalnya cabe rasanya pedas, garam rasanya asin, gula rasanya manis, dan lain-lain. Begitu topik resep masakan diajarkan, para peserta ajar sudah paham betul kenapa suatu resep harus menggunakan cabe, gula, garam dan lain-lain. Jadi bukan langsung diajarkan cara memasak suatu resep makanan, tapi diajarkan dasar-dasar rasa.
Begitu juga kalau belajar pemrograman komputer. Sebaiknya para peserta diajarkan logika penyelesaian masalah dan algoritma dari suatu masalah yang akan dibuatkan programnya. Bukan langsung diajarkan sintaks-sintaks bahasa pemrograman. Jika para peserta ajar berkutat di sintaks bahasa, efeknya adalah kebosanan dan beban yang luar biasa dirasakan oleh para peserta ajar. Mengapa? Karena mereka merasa wajib mengerjakan yang mereka juga tidak tahu bagaimana caranya. Kapan harus menginput data, kapan harus melakukan perulangan, kapan harus menampilakan hasil. Yang ada di pikiran merekan adalah sintaks apa yang harus dituliskan dalam kode programnya. Inilah yang menyebabkan kenapa belajar pemrograman itu sama seramnya dengan belajar matematika.

Untuk melakukan hal ini, bukan hanya presentasi bahan ajar saja yang harus dilakukan, tetapi harus membuka peluang-peluang diskusi, kesempatan mengeluarkan pendapat/pemikiran, dan abaikan terlebih dahulu soal benar dan salah. Karena pemahaman individu peserta ajar dalam menyerap materi bahan ajar adalah berbeda, jadi jangan jatuhkan mental mereka walaupun mungkin apa yang mereka kemukakan itu masih sangat jauh dari apa yang seharusnya dipahami.

Di akhir diskusi, sebaikanya para pengajar memberikan arahan yang konkrit, memberikan penjelasan yang logis terhadap suatu masalah. Mungkin saja suatu masalah memiliki banyak opsi, dan pengajar sebaiknya tidak berfokus (berpihak) kepada salah satu opsi. Jelaskan semua opsi yang ada lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya mengatasi ban bocor. Bisa memiliki dua pilihan untuk solusinya, pertama dikerjakan sendiri. Kelebihannya hemat dana, tapi jadi repot dan harus memiliki perkakas bengkel ban yang lengkap. Cara kedua menggunakan jasa bengkel tambal ban. Kelebihannya lebih praktis dan tidak repot, tapi kelemahannya kita harus mengeluarkan dana lebih.

Dalam beberapa periode pertemnuan belajar, ada baiknya jika pengajar memberikan latihan berupa contoh-contoh masalah yang harus diselesaikan. Hal ini dapat dilakukan jika seluruh teori/konsep dasar penyelesaian masalah sudah disampaikan dan telah dapat dicerna/dimengerti oleh peserta ajar. Hal ini berguna untuk menambah kedalaman pemahaman peserta ajar. Misalnya permasalahan kerusahakan saklar listrik di rumah. Permasalah ini dapat diajukan kepada para peserta ajar sebagai latihan/ujian jika para peserta ajar telah memiliki pemahaman mengenai penggunaan perkakas (tang, obeng, dan lain-lain), pemahaman tentang rangkaian listrik, dan hal-hal yang berhubungan lainnya.

Efek dari metode-metode belajar diskusi, demontrasi dan menjelaskan adalah munculnya motivasi dan penasaran dari para peserta ajar, sehingga belajar bukan lagi suatu beban buat mereka tetapi telah berubah menjadi suatu permainan yang mengasikkan. Rasa penasaran terhadap penyelesaian suatu masalah akan menciptakan suatu motivasi belajar yang luar biasa. Apalagi jika para peserta ajar memahami tujuan belajarnya atau merasa tertantang akan suatu kasus.
Jadi, berhentilah menggunakan metode doktrin dalam belajar, karena hanya akan menciptakan zombie, dan berhentilah menghapal dalam belajar karena akan menciptakan manusia robot. Semuanya terekam tapi tidak tahu apa yang dilakukan. Kembangkan seluruh potensi para peserta ajar dan jadikan mereka benar-benar manusia yang berpikir, bernalar dan beriman. Keteguhan pemikiran dan keilmuan yang tak tergoyahkan karena dibentuk dari pemahanan dasar-dasar pengetahuan yang jelas, konkrit dan tegas. INGAT !!! BELAJAR ADALAH MENCARI TAHU, MENCARI INFORMASI, DAN MENCARI PENGALAMAN DENGAN TUJUAN MENJADI BISA, MENJADI MENGERTI, MENJADI MAMPU DAN MENJADI BERPENGALAMAN, BUKAN MENGHAPAL MATI UNTUK NILAI TINGGI. JADIKAN DIRI SEBAGAI MANUSIA YANG BERNALAR BUKAN ZOMBIE YANG TAK BERPIKIR DAN BERHATI.

Perbanyaklah membaca dan berjalan sehingga pengetahuan, pengalaman dan keterampilan terus meningkat. Memberikan ilmu tentunya tidak sama dengan memberikan harta. Ilmu akan semakin bertambah jika semakin banyak diberikan, sebaliknya harta akan semakin berkurang jika semakin banyak diberikan. "IQRA' BISMIRABBIKALLADZI KHALAQ. KHALQAL INSANA MIN ALAQ. IQRA' WARABBUKAL AKRAM. ALLDZI 'ALLAMA BIL QALAM. 'ALLAMAL INSANA MALAM YA'LAM. (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar