19 Mei 2013

Ketika Kuliah Mempengaruhi Karir

"...Anda bekerja, tetapi ingin kuliah untuk meningkatkan karir? Segera bergabung dengan lembaga pendidikan *****. Waktu kuliah bisa diatur dengan fleksibel, ujian bisa dilakukan di seluruh Indonesia..."

Kutipan di atas adalah salah satu bunyi iklan di salah satu media massa. Khususnya mendekati bulan Juni, akhir tahun ajaran/akademik, banyak sekali bermunculan iklan-iklan seperti ini. Dari makna yang dipahami dari iklan-iklan sejenis adalah kuliah (pendidikan formal) itu mempengaruhi karir pekerjaan seseorang.

Memang sebenarnya itu faktanya. Pendidikan itu sewajarnya mempengaruhi karir seseorang. Tetapi yang menjadi tidak wajar adalah ketika proses-proses pendidikan itu dilakukan secara pragmatis, dapat diraih dengan mudah dan cepat. Arti sebenarnya bahwa bukan pendidikan itu yang dibutuhkan untuk karir, tetapi ijazah formal. Kalau punya pendidikan tidak punya ijazah maka dianggap tidak memiliki kemampuan, sebaliknya jika punya ijazah tapi tidak terdidik, tetap dianggap memiliki kemampuan.

Bagaimana dampak yang terjadi ketika hal itu ternyata terjadi dan digunakan oleh perusahaan atau instansi. Yang terjadi adalah bahwa kompetensi pegawai (SDM) yang ada bukanlah kompetensi yang sesuai dengan ijazah yang dimilikinya. Kita sudah maklum di banyak instansi yang umumnya didominasi oleh instansi pemerintah, bahwa kualitas SDM tidak memadai. Sehingga perubahan-perubahan yang dilakukan di dalam proses bisnis dan layanan lembaga-lembaga pemerintah untuk memperbaiki kinerja pemerintah dalam sudut pandang masyarakat tetaplah buruk.

Hal ini karena kebanyakan SDMnya tidaklah terdidik, tetapi lebih cenderung "karbitan", dipaksa untuk menjadi bisa, padahal belum bisa atau memang tidak bisa melakukan sesuai dengan yang diharapkan. Ketidakbisaan itu umumnya disebabkan karena ketidakmauan karena memang sudah berada di zona aman, atau ketidakmampuan karena memang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sistem motivasi di lembaga atau instansi pemerintahan juga berdasarkan kepentingan atau dengan kata lain tergantung dari rezim yang berkuasa. Profesionalisme sangat diabaikan, asalkan sesuai dengan rezim, ya sudah... lakukan.

Mungkin yang perlu diperbaiki adalah proses-proses pendidikan tersebut. Pengaturan terhadap standar yang harus dipenuhi oleh calon terdidik untuk mencapai kemampuan tertentu harus jelas apa dan bagaimana melakukannya. Jika tidak, kita hanya akan mendapatkan SDM-SDM "karbitan" yang hanya bisa membual tanpa bisa berbuat, yang hanya bisa bikin ABS (Asal Bapak Senang), tanpa bisa memperbaiki keadaan.

Tapi tetap ada aja rasa pesimis... Mungkinkah hal ini bisa dilakukan jika cara berpikir, motivasi, dan keinginan itu bukanlah keinginan peningkatakan kualitas tetapi sekedar memenuhi kehendak dan kebutuhan rezim yang berkuasa... ????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar