2 Mei 2013

Sinisme, Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP)

Sebenarnya saya masih penasaran, kenapa anak-anak muda berminat untuk masuk Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP). Dari saya masih sekolah SMP dulu, saya sudah mengenal OKP dan sampai dengan hari ini, saya belum menemukan sesuatu yang bermanfaat (dalam arti) positif untuk kehidupan saya, apalagi masyarakat yang bisa diberikan OKP.

Pengalaman saya berurusan dengan OKP selalu dengan rasa terpaksa dan di bawah tekanan. Dulu, ketika saya masih sekolah STM, dua orang anggota OKP datang ke rumah saya sehabis magrib, di saat orang tua saya sedang ada tamu. Dengan mata merah dan mulut bau "Tuak" (sejenis minuman alkohol tradisional) menyodorkan proposal dan kuitansi yang intinya minta sumbangan untuk kegiatan 17an... Bahasa tubuhnya penuh kesombongan, dengan gaya "Sok Jago" tapi bertahan dalam keseimbangan aja susah. Dalam hati saya berkata, "apa tidak ada cara-cara yang lebih sopan dan simpati untuk meminta bantuan dari masyarakat?"

Pengalaman kedua, ini merupakan pengalaman yang paling tidak enak, dan kalau boleh dibilang sangat mengganggu kebebasan saya dalam beraktifitas. Waktu itu saya sudah menjadi mahasiswa. Di lingkungan tempat tinggal saya ada dua OKP yang saling berebut pengaruh. Setiap hari, kedua OKP tersebut selalu tawuran. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, tidak ada tanda-tanda akan berakhir tawuran tersebut. Bahkan lingkungan tempat tinggal saya dicap warga kota sebagai daerah tidak aman seantero kota, padahal saya sendiri merasa tidak begitu.

Sampai pada suatu hari, terjadi serangan malam, dimana para anggota OKP merusak dan berusaha masuk rumah warga. Orang tua saya sampai trauma, dan menyuruh saya supaya mengungsi sementara ke rumah temannya di daerah lain dalam kota yang sama. Karena terdengar isu bahwa anggota OKP akan melakukan penyisiran ke rumah-rumah warga. Waktu itu, namanya anak muda, darah muda saya pun mendidih... Masa iya kita dijajah dan dijadikan bulan-bulanan OKP untuk urusan-urusan mereka. Kita tidak tahu sama sekali perseteruan mereka, apa iya kita layak dikorbankan untuk itu. Kalau orang tua saya tidak mencegah... ingin rasanya saya tinggal di rumah dan menanti kalau memang benar mau datang dan mengobrak-abrik rumah saya, maka langkahi dulu mayat saya....

Akhirnya saya tidak tega, lihat Ibu khawatir. Saya turuti juga kemauan beliau untuk mengungsi walaupun dalam hati sangat tidak menerima. Tidak tahu apa-apa, tidak punya urusan apa-apa, tapi harus kena getahnya seperti ini. Pergi dari rumah. Kenapa bukan anak-anak muda anggota OKP itu saja yang diusir dari rumah. Dengan intensitas kerusuhan yang begitu tinggi, akhir Polisi bertindak tegas. Dua SSK Brimob diturunkan lengkap dengan Satuan Sabhara dan Reserse. Perintah tembak di tempat diberikan. Jika kedapatan berbuat kerusuhan, maka akan langsung diciduk, tidak peduli terlibat atau tidak. Dengan tindakan tegas itu, barulah daerah tempat saya tinggal mulai berangsur-angsur aman.

Pengalaman terbaru saya berurusan dengan OKP adalah di tempat saya mengajar. Segelintir mahasiswa adalah anggota OKP. Yang aneh menurut saya, mahasiswa-mahasiswa yang menjadi anggota OKP tersebut selalu merasa sebagai kalangan tertindas, lalu berkumpul dan merasa diri sebagai para pejuang anti penindasan. Dalam hati sih tertawa... Apa iya tertindas? Kalaupun iya, siapa yang menindas, pihak perguruan tinggi dengan  segala kebijakannya, para dosen yang tidak bisa memberikan nilai tinggi pada mereka. Ah... kalau menurut saya, itu alasan yang mengada-ada.

Yang lebih menggelikan lagi, pernah ada spanduk "Tuhan saja tidak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya, tapi mengapa para dosen memberikan ujian di luar kemampuan mahasiswanya". Aneh... yang merasa gak mampu itu siapa, dan kenapa tidak mampu. Trus yang terbaru yang sering saya dengar adalah "Katakanlah kebenaran itu walaupun terasa pahit", tapi cara pelaksanaannya adalah selalu menentang setiap pernyataan atau pendapat yang ditujukan kepada mereka. Mereka selalu merasa bahwa pendapat mereka adalah kebenaran dan mereka berjuang untuk kebenaran, terutama untuk para mahasiswa yang tertindas. Sekali lagi, benar-benar membuat saya bingung... Ntah siapa dan kenapa mereka ditindas. Mereka agak kurang suka dengan mahasiswa yang di kelas dan mengikuti kuliah dengan seksama dengan alasan bahwa para mahasiswa yang antusias dengan kuliahnya itu adalah orang-orang tidak peduli dengan nasib rekan-rekan mahasiswa lain yang sedang "tertindas".

Kalau saya boleh bilang, ini sebenarnya orang-orang buta, tapi gak bisa dikasih arahan, pokoknya mereka paling benar, kenapa? Karena merasa bahwa anggota OKP adalah orang-orang yang punya kekuatan, punya genk, punya massa untuk memaksakan apa yang mereka mau kepada orang lain atau kelompok lain. Kalau tidak mau mengikuti kemauan mereka, tentunya cara-cara intimadasi sudah disiapkan. Ya... minimal demo atas nama mahasiswa...

Jadi setelah saya perhatikan dan saya rasakan dari pengalaman-pengalaman saya berurusan dengan OKP, saya berkesimpulan untuk sementara sebagai berikut :
  1. Banyak anak muda, pemuda atau siapapun yang tertarik bergabung di OKP sebenarnya bukanlah orang-orang yang mencari prestasi atau berbuat untuk kepentingan orang banyak. Tetapi lebih kepada orang-orang yang tersingkir dan ingin mengekspresikan diri agar diakui lingkungan dan tidak lagi dianggap sebagai pencundang (orang-orang yang di singkirkan dari lingkungan). Dengan menjadi anggota OKP, nilai diri mereka naik, walaupun harus dicap sebagai preman.
  2. Umumnya jarang bisa menalar dengan jelas terhadap masalah yang terjadi. Apa yang menjadi pemikiran mereka adalah apa yang menjadi perasaan mereka dan/atau arahan sebagian besar anggota kelompok atau mungkin pemimpin mereka (Ketua). Jika kata Ketua seseorang atau kelompok itu jelek, maka semua anggota pasti sepakat, tidak perlu diteliti lagi apa benar yang dikatakan Ketua atau tidak. Jadi posisi Ketua itu sangat strategis, bisa punya kekuatan untuk memukul lawan-lawan atau siapapun yang gak kita suka.
  3. Saya lebih memandang OKP itu sebagai komplotan preman, triad, yang patuh dan digerakkan dan diperuntukkan untuk suatu kekuatan besar, ya... politikus, tokoh preman, atau siapa saja yang punya uang untuk membiayai massa yang besar.
  4. Secara umum, siapa saja yang menjadi anggota OKP tentunya akan memiliki loyalitas tinggi, sebab OKP itu seperti majikan, master, atau dewa penolong yang menolong mereka dari kesulitan hidup. Membuat mereka menjadi lebih dihargai di masyarakat walaupun penghargaan masyarakat itu berdasarkan ketakutan.
Dari apa yang sudah dijelaskan di atas, masih menyisakan sejumlah pertanyaan :

  1. Kapankah stigma OKP bisa berubah ke arah yang lebih positif, bisa memberdayakan anggota sebagai pelopor pembaharuan dan kreatifitas di masyarakat?
  2. Kapankah anggota OKP dibekali dengan keterampilan dan kemampuan life skill yang memadai yang bisa membuat mereka mandiri dan benar-benar dihargai di masyarakat karena hasil karyanya bukan karena ketakutan dan teror? Sebenarnya saya membayangkan alangkah mulianya jika OKP itu suatu saat bisa seperti Karang Taruna, membekali kemampuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota melalui suatu pemberdayaan ekonomi.


Masih butuh perjalanan dan perjuangan panjang... Siapa saja berhak menjadi anggota OKP atau membela OKP dan tidak ada yang bisa memaksa itu, begitu juga siapa saja berhak untuk tidak sejalan atau menolak mengikuti intimidasi OKP dan juga tidak ada yang bisa memaksa untuk itu. Tetapi jika sudah mengarah pada perusakan atau penghancuran di masyarakat, maka sudah selayaknya untuk dilawan, karena perlawanan itu adalah perlawanan suci (jihad), mencegah kemungkaran dan kehancuran. OKP itu punya potensi memajukan masyarakat dan bangsa tapi kalau masih dikelola seperti ini potensi OKP yang selalu terekspos adalah kekerasan dan pencundang di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar