Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”(HR. Ibnu Abdil Bari)
"Hari ini, jika ada orang iseng menekan satu tombol saja di pusat peluncuran nuklir, maka kita, seluruh penduduk bumi akan musnah" (Anthony Giddens).
Dalam pandangan hidup Muslim, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban. Menuntut ilmu berbeda artinya dengan mencari ilmu. Kalau mencari ilmu dimaksudnya hanya untuk mengetahui, belum tentu didalami, belum tentu diresapi, dan belum tentu diamalkan. Untuk mendalami, meresapi dan mengamalkannya perlu keikhlasan, kematangan dan kesungguhan. Karena itu lebih tepatnya menggunakan istilah menuntut ilmu, yang lebih khusus diartikan sebagai mencari, mempelajari, mendalami, meresapi dan mengamalkan ilmu.
Menuntut ilmu dapat diibaratkan seperti orang yang mencari buah durian. Buah durian yang enak dan lezat adalah buah durian yang masak di pohon, bukan yang masak karena dikarbit. Buah durian yang masak tadi akan jatuh dengan sendirinya ke tanah. Jika ada orang yang menemukannya, maka buah durian tersebut akan menjadi makanan yang bergizi dengan kualitas rasa yang tinggi. Sedangkan bila tidak ada orang yang menemukannya maka ia akan mengeluarkan biji yang siap menjadi pohon durian yang baru atau bisa juga dimakan oleh hewan lainnya yang kebetulan menemukannya. Sungguh, tidak ada yang sia-sia dari buah durian tersebut.
Buah durian tersebut dapat diibaratkan sebagai orang yang memberi ilmu, lebih khususnya adalah guru. Seorang guru harus memiliki sifat-sifat kematangan buah durian tadi. Ilmu yang benar-benar matang, mumpuni, dan masak. Guru yang memiliki kematangan tersebut tidak akan sedih bila dimaki, dan tidak akan tinggi hati bila dipuji, serta tidak akan takut jika muridnya lebih pintar daripada dirinya.
Guru yang memiliki kematangan ilmu, memiliki kepribadian yang ikhlas. Seperti keikhlaskan buah durian tadi yang jatuh dengan sendirinya dari pohon begitu telah matang. Artinya hanya buah durian yang benar-benar matanglah yang rela dan ikhlas menjatuhkan dirinya dari atas pohon. Ia juga rela, jika dimakan oleh hewan lainnya atau membusuk ke dalam tanah menjadi penyubur tanah tersebut sehingga bisa memberikan saripati gizi bagi tumbuh-tumbuhan yang ada di atas tanah tersebut.
Jika kita perhatikan guru-guru pesantren atau guru mengaji (madrasah) jaman dulu, banyak yang tidak mau menerima imbalan atau digaji oleh murid-muridnya. Nafkah untuk menghidupi dirinya dan keluarganya dilakukan dengan cara yang lain, berdagang, bekerja di bidang lain, bertani, dan lain-lain, bahkan kadang-kadang dia harus juga menghidupi para muridnya.
Mungkin ketidakselarasan sekarang ini disebabkan oleh berubahnya cara pandang guru terhadap muridnya. Dimana murid adalah objek yang bisa memberikan nafkah kehidupan. Sehingga keikhlasan dan kerelaan itu menjadi sesuatu yang langka. Boro-boro mau ikhlas, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit.
Dalam kenyataannya, banyak guru justru harus terjebak dalam "berjualan ilmu" daripada mengajarkan dan mengamalkan ilmu itu sendiri. Maksudnya, murid-murid adalah konsumen ilmu, dan guru adalah produsen ilmu. Sehingga yang terjadi adalah eksploitasi besar-besar terhadap murid oleh gurunya. Akibatnya tujuan pembelajaran itu sendiri tidak pernah tercapai, kecuali hanya untuk memenuhi target dan kuota kelulusan. Hasilnya, tidak ada murid-murid yang menguasai ilmu yang diajarkan tersebut, kecuali hanya sebagai seorang penonton tanpa makna dalam sebuah pertunjukan.
Keikhlasan tidak hanya dituntut dari seorang guru, tetapi juga dituntut dari para murid yang menuntut ilmu kepada guru tersebut. Sembarang dalam menerima ilmu dapat menyebabkan pengaruh buruk terhadap murid tersebut. Jadi tuntutlah ilmu yang benar-benar matang dari guru yang benar-benar matang. Sama seperti buah durian tadi, jika asal memilih, maka bisa-bisa kita mendapatkan buah durian yang busuk, kecut, bahkan pahit.
Dalam menerima ilmu, murid-murid harus memiliki rasa keikhlasan, tawadhu, dan tidak sombong. Seperti seorang yang harus membungkuk atau berjongkok dalam mengambil buah duren yang jatuh ke tanah tadi. Guru ikhlas, dan murid tawadhu'. Tawadhu artinya murid-murid mendengarkan, memahami, menerima dan melaksanakan pelajaran-pelajaran, ilmu-ilmu secara ikhlas, bukan memberikan pertentangan, bukan pula memprotes, mendemo dan melawan, bahkan mempermalukan gurunya karena dalam anggapan si murid apa yang diberikan itu tidak sesuai dengan kemauan murid tersebut atau tidak memberikan nilai tinggi terhadap hasil belajar muridnya. Karena ini bukan masalah kemauan, ini adalah aturan (proses) yang harus dilaksanakan agar ilmu itu bisa sampai kepada penerimanya.
Namun pada kenyataannya, murid-murid sekarang lebih cenderung untuk bertindak instan, pragmatis, cepat. Seperti buah durian tadi yang seharusnya masak di pohon dan jatuh dengan sendirinya, tetapi sekarang harus dipetik sebelum masak dan dikarbit supaya cepat masak. Akibatnya tujuan dan hakikat menuntut ilmu tadi tidak tercapai dan terpenuhi, karena yang terjadi adalah mencari ilmu yang hanya mengerjar target, rutinitas, dan kebiasaan, tanpa ada hasil yang berkualitas.
Itulah sebabnya, sekarang begitu banyak orang-orang yang bersekolah, belajar, tapi kematangan ilmu, pribadi, dan emosinya seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Beda dengan jaman dulu, jaman kakek-nenek kita, dimana sedikit orang yang bersekolah tetapi kematangan ilmu, pribadi dan emosinya jauh melebihi statusnya. Karena kehidupan, keluarga, masyarakat jauh lebih membentuk kualitas keilmuan, kepribadian, dan emosi kakek nenek kita dulu dibanding dengan sekolahan jaman sekarang. Kenapa itu terjadi, karena keikhlasan, kasih sayang dan motivasi para pemberi ilmu dulu yang kuat dalam memegang idealisme sehingga murid-muridnya menjadi murid-murid dengan karakter yang kuat. Inilah sekarang yang sudah jauh sangat berkurang.
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
Itu dulu
....
Tapi kini
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi gurunya
Permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan kembali kepada pegangan dan pedoman tuntunan agama. Moral, idealisme, dan prinsip harus dipegang dengan teguh dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pengaruh ideologi yang merusak, yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak generasi harus diminimalkan dan bila mungkin dimusnahkan. Kalau tidak, pribadi yang terbentuk hanyalah pribadi yang pragmatis, cepat, instant, tapi tidak kuat terhadap cobaan, gangguan, rintangan dan hambatan. Generasi-generasi yang putus asa, yang bingung, dan gampang dijatuhkan. Karena kekuatan prinsip dan idealisme dalam karakter yang tidak kuat. Sedikit saja kondisi dan situasi berubah, maka jatuhlah mereka ke dalam keputusaan, patah semangat, dan ketidakmampuan.
Semua butuh proses, semua proses harus dijalani, senang-sedih, bahagia-menderita. Menghindari proses dan menginginkan hasil yang cepat tanpa mempertimbangkan kualitas adalah pragmatis. Pragmatis mungkin akan membuahkan hasil yang cepat, tapi hasil itu tidaklah bermutu, hasil yang cepat membusuk, tidak bisa bertahan, dan berkualitas rendah. Mari memulai dan berjuang untuk kematangan sejati, bukan karbitan. Kematangan yang bisa diuji kualitasnya sehingga tidak terjebak menjadi manusia yang tahu tapi tidak bisa membedakan, mengerti tapi tidak bisa melakukan.
Petatah Petitih Baru
(by Taufik Ismail - sumber : http://taufiqismail.com/sajak-ladang-jagung/buku-ketiga/126-petatah-petitih-baru)
Mata
Gajah di seberang lautan tak tampak Kuman di pelupuk mata juga tak tampak
Humas
Menepuk air di dulang Tepercik ke muka sendiri Kemudian dilap dengan press release
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan Sesal kemudian pengeluaran
Pendidikan
Guru kencing berdiri Murid mengencingi guru
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir atapnya yang turun ke air
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang Hujan emas di negeri sendiri Lebih enak di negeri sendiri
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan
PBB
Duduk sama rendah Berdiri lain-lain tingginya
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung Apa daya gunungnya meletus
Pers
Buruk muka pers dibelah.
Gajah di seberang lautan tak tampak Kuman di pelupuk mata juga tak tampak
Humas
Menepuk air di dulang Tepercik ke muka sendiri Kemudian dilap dengan press release
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan Sesal kemudian pengeluaran
Pendidikan
Guru kencing berdiri Murid mengencingi guru
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir atapnya yang turun ke air
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang Hujan emas di negeri sendiri Lebih enak di negeri sendiri
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan
PBB
Duduk sama rendah Berdiri lain-lain tingginya
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung Apa daya gunungnya meletus
Pers
Buruk muka pers dibelah.
Referensi :
Kamaluddin dan L.M, El Shirazy (2011) : The Islamic Golden Rules, 17 Aturan Emas Meraih Puncak Kesuksesan dan Kejayaan, Ihwah, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar