5 Des 2008

LIRIKAN DARI BANGKU KERAMAT

Debu-debu bertebangan dari lantai mengikuti irama kibasan sapu lidi yang sejak lima menit yang lalu aku sapukan di lorong barisan bangku. Deretan bangku-bangku itu berjajar rapi secara memanjang dari depan ke belakang. Rasanya deretan bangku ini terlalu rapat untuk ruang kelas kami. Tapi mengingat jumlah siswa SMP yang sedang menimba ilmu di sekolah ini, tentunya hal itu dengan terpaksa kami maklumi.

Dengan berbekal sapu ijuk dan sapu lidi, aku dan teman-teman yang terkena giliran piket kebersihan berusaha menyingkirkan sebanyak mungkin endapan pasir, tanah, dan debu di bawah bangku-bangku tersebut. Harapan kami tentunya dapat belajar di ruangan itu dengan segar dan memasukkan debu sebagai sarapan kami. Sesekali aku perhatikan denah siswa yang rapi terpajang dalam pigura yang tersangkut di dinding. Wah..pantesan bangku yang itu sangat kotor, yang ini bersih, yang ini aromanya wangi, yang sana banyak coretan, ternyata bangku itu mencerminkan orang yang duduk di situ.

Sisa-sisa kopekologi dan surat cinta monyet juga tidak jarang aku jumpai. Bagiku tidak habis pikir untuk bersusah payah menuliskan kopekologi untuk tes harian. Rasanya males amat. Lebih enak mengikuti cerita guru yang mendongeng di kelas yang kerap ucapannya selalu muncul diujian, kecuali untuk guru yang malas bercerita, ujiannya hapal mati, kayak ngapal mantra yang nggak boleh salah sedikitpun. Bagiku, dari pada buat kopekologi yang tulisannya kecilnya minta ampun, lebih baik bawa sekalian primbonnya eh...maksudnya buku teksnya. Emang kita pikiri kalau ketahuan, cuek aja lagi...

Dari sekian banyak bangku yang berjejer, ada satu bangku yang paling aku anggap keramat. Harus benar-benar dibersihkan, tidak boleh nampak kotor, dan sesuai dengan orang yang duduk disitu. Bangku itu bersih, jarang ada coretan, kalaupun ada ya..warisan dari para pendahulunya. Bukan salah bangku itu yang menjadi keramat, tapi sosok manusia yang duduk di situ yang membuat hatiku mau runtuh...kacau...ngomong jadi gagap, tingkah jadi salah, dan kadang-kadang jadi gila.

Pukul setengah delapan pagi bel berbunyi. Seluruh siswa telah berbaris dengan gerutunya masing-masing di depan kelas. Lalu masuk dengan teratur dan duduk di bangkunya masing-masing. Tiba-tiba dari barisan tengah terdengar jeritan cewek, ”Ya...rokku jadi kotor...siapa nih makan permen karet...”. Hah... pikirku tadi kayaknya udah bersih semua kok tiba-tiba ada. Pasti anak yang iseng nih...Tiba-tiba bumi rasanya berguncang...ya ternyata guru bidang studi IPS (Ilmu Pengetahuan Sejarah) sudah masuk...Si Botak dari Gua Hantu...Sebagai guru sejarah memang penambilan guru kami ini sesuai untuk tema-tema sejarah. Tulisan tangannya miring dengan gaya Perancis jaman Napoleon, dan nggak sembarang siswa yang bisa baca, terutama siswa-siswa yang sudah pakem pakai tulisan lepas, dijamin sembilan puluh persen tidak bisa membaca tulisan itu. Kacamatanya bentuk segi empat kaya kubus dan tebal kayak lensa proyektor di gedung bioskop, mirip kayak kacamata Bung Karno di foto-foto pidatonya, tapi semangatnya dalam menceritakan sejarah sanggup menghipnotis dan memacu anderalin para siswa. Rambutnya sudah botak sebagian, mungkin kebanyakan menghapal sejarah. Namun, walaupun telah dilengkapi dengan kacamata tebal, kadang-kadang sering tidak melihat jalan di depannya atau menabrak orang lain yang kebetulan berpapasan dengannya. Jangan ditanya kejamnya kalo sudah marah. Penggaris papan tulis yang lebarnya lima senti dan panjang dua meter juga sering mendarat di punggung kami, ntah kami salah jawab, atau kebanyakan bermain di belakang dan mengabaikan dongeng-dongeng pengantar sejarahnya. Sebab itu kami beri gelar Si Botak Dari Gua Hantu.

Pelajaran sejarah hari itu membahas penjelajahan samudra. Dengan semangat Pak Giant bertutur, ”Di semangat pembaharuan renainsance di Eropa, banyak para pelaut ingin sekali membuktikan mitos-mitos tentang ujung dunia. Dengan impian kejayaan dan kekayaan para pelaut Eropa hanyut dibuai mimpi ke negeri dongeng, tempat surga dan neraka dunia berada. Tentu saja semua usaha itu didukung penuh para Raja yang serakah dan haus kekuasaan untuk memperluas daerah jajahannya. Bartolomeus Diaz, Vasco Da Gama, Cristhoper Colombus, adalah orang-orang fanatik yang rela mengorbankan segalanya untuk hanyut ke lautan lepas tempat negeri-negeri ujung dunia berada.” Presentasi pejelajahan samudra itu tentu saja tidak hanya bermodal omongan sampai ludah muncrat dari mulut. Supaya lebih memahami Pak Giant si guru sejarah juga mempunyai peta, ya...atlas...maksudnya.

Dari tas kulit buayanya yang sudah usang dan penuh goresan pecah, diambilnya sebuah buku besar dengan kulit warna coklat dan kusam. Tulisannya Atlas Doenia...Atlas tersebut kira-kira setebal lima puluh-an halaman, tapi peta propinsi Indonesia belum seperti yang sekarang, masih banyak yang berwarna putih alias tidak dianggap wilayah Indonesia. Dalam hati aku berkata mungkin Atlas itu peninggalan opungnya dari jaman Sisingamangaraja dulu...Di bukanya Atlas itu, ditunjukkankan dan dibuatkan garis bayangan untuk menggambarkan rute para penjelajah itu. Dari Spanyol, Portugis, Belanda, lalu menyusuri selatan Eropa menuju selatan Afrika dan berakhir di India atau ketimur lagi menuju Malaka.

Setelah selesai berpanjang lebar dengan cerita para penjelajahnya, Pak Giant menunjuk siswa secara acak untuk menerima pertanyaan darinya, tidak peduli apakah siswa tadi konsentrasi penuh mengikuti ceritanya atau sibuk dengan khayalannya sendiri. Sudah pasti Penggaris Pembunuh Naga Tidurnya akan beraksi kalau tidak bisa menjawab pertanyaan dengan tepat. ”Oooo...Bodoh kau...Apa aja kerjamu di belakang,...sudah berbuih mulut saya menerangkan di depan, tidak ada satupun yang ingat di kepalamu.” Hardiknya..sesaat kemudia ”Plak !!!” salah satu sisi penggaris telah mendarat dengan telak di punggung anak itu...kasian..deh...looo...

Di sela-sela menggelegarnya orasi-orasi Pak Giant, aku curi pandang ke bangku keramat. Ku lihat si penduduk bangku juga melirik ke arahku dengan senyuman yang merona, efeknya bagaikan aliran listrik mega watt yang langsung membuat semangatku menyala, kayak api yang disiram bensin...Bagaikan petir yang menyalak tanpa peduli apa yang akan dilaluinya.Kadang aku tidak habis pikir...posisi bangkuku yang berada agak di belakang bangku keramat, tapi kenapa dia selalu sempat membalas curi pandangku...? Tapi biarlah...yang penting aku juga senang dan teramat bahagia mendapat senyumannya...

Tiba-tiba Pak Giant sudah ada didekatku..”Kamu...jawab...apa misi utama para penjelajah waktu itu untuk mengarungi samudra”, tatapnya dengan mata melotot...Hhh...grogiku juga aku mendapatkan serangan mendadak itu, untung ucapannya masih terngiang di telingaku...”Gold, Glory, Gospel, Kekayaan, Kejayaan, dan Misi suci penyebaran Injil, Pak”, jawabku dengan mantap dan percaya diri. ”Ya benar...bagus..begini seharusnya kalian menjawab, bukan malah berkombur di belakang”, pujinya pada ku sambil menasehati yang lain. Rasanya bangga sekali bisa memberikan jawaban dengan tepat dan selamat dari Penggaris Pembunuh Naga Tidur...Sekali lagi layangan pandang terarah kepada sang bidadari, penduduk bangku keramat. Senyumnya kembali hadir, laksana air di tengah padang pasir, aku benar-benar melayang...

Dia...sang penduduk bangku keramat, telah membuat hari-hari belajarku terasa singkat. Ujian sekolah terasa ringan, dan hukuman guru bagaikan hadiah yang diharapkan. Tidak ada keinginanku sebiji zarahpun untuk melihatnya susah, menderita. Bangku itu begitu keramat, membersihkannya adalah kebanggaan, menerima senyumnya adalah anugrah, dan bertemu pandang dengannya adalah bahagia.
Walaupun posisi bangkuku dengan bangkunya tidak begitu jauh dan setiap hari kami bertemu, namun bisa aku hitung dengan jari berapa kali kami pernah berbicara. Itupun sebatas tema-tema pelajaran sekolah dan yang sangat penting yang jika aku tanyakan ke temanku yang lain, mereka tidak bisa menjawab karena tidak mengerti. Saking semangat aku karena dia, prestasi kami selalu bergantian, ranking satu dan dua selalu bergilir di antara kami berdua.

Aku tidak tahu apakah dia merasakan juga kesenangan dan kebahagian ketika berdekatan seperti yang aku rasakan. Yang jelas, prestasiku meroket, hari-hari di sekolah bersemangat adalah karena dia, lirikannya bagaikan charger HP yang dicolokin ke HP lowbat. Lirikkannya benar-benar mujarap mengobati kecewaku, gelisahku dan ketakutanku. Lirikannya menghilangkan sakitku, lelahku dan malasku. Dia selalu membalas senyumanku dan tidak akan memalingkan wajahnya jika aku tidak tertunduk malu karena itu. Senyuman dan lirikan itu juga yang kelak membuat penyesalan seumur hidupku...mengubur mimpi-mimpiku...dan hanya bisa menghadirkan dirinya dalam khayalanku...Sepertinya aku telah menghilangkan permataku karena kebodohan dan kepengecutanku yang tidak aku sadari...Semoga di kehidupan mendatang kita bisa bertemu lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar