Hari ini cuaca begitu cerah. Waktu baru menunjukkan jam sembilan pagi. ”Srruuup...nikmat benar teh ini”, syukurku dalam hati. Rasanya tidak ingin putus menikmati teh pengantar sarapan pagi. “Dian…dipanggil Pak Anwar” seseorang membuyarkan konsentrasi kenikmatanku. “Oya…sebentar”. Dengan bergegas aku masuk ke ruangan Pak Anwar. Pak Anwar adalah atasanku namun bukan definitif hanya BKO. Aku adalah seorang pegawai bagian operasional yang ditugaskan sebagai membatu bagian Debt Collector sebuah perusahaan jasa keuangan.
Ku ketuk pintu dan mengucapkan salam. ”O..Dian...silahkan masuk..., sebentar ya saya siapkan dulu berkas-berkasnya”,salam sambutan Pak Anwar. Pak Anwar termasuk salah seorang Pejabat senior di kantor tempat aku bekerja. Ia pernah bertugas sebagai Kepala Akuntansi dan Dana dan telah menjelajah ke seluruh Cabang Perusahaan. ”Hari ini kita ada tugas penagihan, kamu tolong bantu saya. Orang-orang saya hari ini sedang tidak berada di tempat. Warman sedang tugas keluar, sedangkan Manik sedang cuti”, terang Pak Anwar. ”Ok..Pak tidak masalah.. saya siap membantu Bapak, saya juga sudah minta izin dengan Pak Romi atasan saya di Operasional agar bisa membantu Bapak”, ku berikan respon dan laporan dengan lugas. ”Baiklah kita berangkat segara, Si Gilang sudah standby di mobil sejak pagi tadi. Segera saja ke pool ya...”, perintah Pak Anwar dengan jelas.
Dengan cepat aku menuju ke pool kendaraan dinas, disana sebuah Kijang Commando warna putih telah bersiap dengan pintu terbuka dan mesin dalam keadaan hidup. Di bangku supir terlihat sesosok tubuh tanpa semangat sedang memperdalam hisapan tembakau yang terbakar. Dialah Pak Gilang, supir bagian Dept Collector yang sudah menjelajah ganasnya jalan menuju tempat-tempat nasabah menunggak dan macet. Orang-orang pada bagian ini jauh dari kesan ramah, wajah selalu sinis, hitam, dan sulit sekali untuk senyum. Mungkin memang kriteria Dept Collector harus begitu supaya nasabah yang macet cepat membayar.
Tidak jauh berbeda dengan supirnya, Pak Gilang. Rambutnya ikal, matanya sayu, badannya kurung dan kata-katanya selalu kurang semangat. Menurut legenda orang-orang di kantor, Pak Gilang adalah mantan pengusaha dan lurah yang sukses. Tanahnya luas, rumahnya besar, bahkan pernah memiliki berhektar-hektar kebun sawit. Namun, semua itu dalam sekejap musnah karena usaha spekulasi jual beli tanah yang dia lakukan. Dia menjanjikan akan membelikan tanah dengan menyetor sejumlah uang kepadanya. Banyak orang yang telah menyetorkan uangnya, namun setelah ditunggu-tunggu ternyata tanah yang dijanjikan tidak kunjung ada. Maka segala kekayaan disita oleh orang-orang yang pernah menitipkan uang kepadanya.
Sebenarnya yang mengurus jual beli tanah itu bukan Pak Gilang. Pak Gilang hanya makelar dari cukong tanah. Begitu uang terkumpul, si Cukong pun memilih kabur, tinggallah Pak Gilang yang harus menanggung segala risikonya. Rumah dan tanah Pak Gilang terjual habis untuk menutupi hutang-hutangnya. Dengan sekejap Pak Gilang berubah jadi miskin dan mungkin terancam putus asa. Jangankan bergaya dengan pakaian gemerlap, untuk makan saja sudah berat rasanya. Rasa keputusasaannya dilampiaskan di lapo-lapo tuak sampai jauh malam. Sekarang hidupnya tidak lebih dari pemabuk untuk membakar mimpi-mimpi dan kenangan masa silamnya.
Atas kebaikan Pimpinan Kantor yang lama, Pak Gilang dipekerjakan sebagai tenaga honor di Kantor kami. Tugasnya menjadi supir dinas Dept Collector. Mungkin karena sudah sering mabuk, gaya mengemudinya jadi kurang stabil, bahkan kami kadang-kadang kuatir jika harus berdinas bersamanya, karena pernah mobil yang dibawanya terpersok ke parit akibat terlelap sambil mengemudi.
Setelah lima menit menunggu, Pak Anwar datang menghampiri kami dan langsung mengajak berangkat. Perjalanan pun dimulai. Menyusuri jalan-jalan protokol di ibu kota kabupaten tempat aku bertugas mengingatkanku akan kampung halaman. Kabupaten ini cukup terkenal sebagai penghasil sawit utama di Propinsi Sumatera Utara. Penduduknya rata-rata berprofesi sebagai petani dan pedagang. Namun untuk ukuran petani, tingkat pendapatan penduduknya relatif tinggi. Anak-anak sekolah di kampung-kampung pedalaman tidak ada yang naik sepeda atau berjalan kaki untuk pergi ke sekolahnya. Mereka rata-rata menggunakan sepeda motor, itu pun bukan model yang murahan, semuanya high-grade, high end, Yamaha Scorpio, RX-King, Honda Tiger, Kawasaki Ninja, wah pokoknya gak ada yang harganya murah.
Seiring berlalunya waktu dan tempat, kami memasuki kota kecamatan. Jalannya mulai penuh dengan lubang. Kemejaku yang tadinya licin dan rapi mulai kusut karena harus bergesekan dengan tempat duduk yang terus bergoyang sejak memasuki tapal batas kota. Jika shock breaker tidak kuat atau tidak gerdang dua, jangan coba lewat sini, hanya pemberani saja yang bisa lewat...
Menjelang pinggiran kota kecamatan tersebut, terdapat sebuah jembatan dengan panjang hampir lima puluh meter. Kami lewati jembatan tersebut dan tiba di pertigaan di seberang jembatan. Di pertigaan itu mobil berbelok ke kanan menuju kompleks perkebunan. Ya kompleks…karena perkebunan ini tidak dikelola petani, tetapi dikelola oleh perusahaan perkebunan. Aku berpikir bahwa tempat yang kami tuju pastilah sudah dekat, karena sudah lebih lima puluh kilometer jarak yang sudah kami tempuh. Namun, perkiraanku meleset, kali ini mobil memasuki jalan tanah daerah perkebunan. Kanan dan kiri kami hanya pohon sawit dan jalan yang dilewati penuh lumpur dan lubang. Dalam pikiranku mungkin hanya mobil off-road yang bisa lewat sini, tapi mobil kami benar-benar tangguh. Umurnya sudah sekitar lima tahun, hampir seluruh sparepartnya pernah diganti dan jangan ditanya kerasnya hantaman sock breaker begitu melindas lubang. Tapi benar-benar mobil sakti atau lebih tepatnya dipaksa jadi sakti karena beban kerja yang menghendakinya demikian.
Tiba-tiba mobil berhenti di sebuah pertigaan. Tempat itu begitu sepi, di pingginya ada sebuah gubuk. Jika diperhatikan dengan seksama sebenarnya tempat itu bukan pertigaan, tapi perempatan. Jalan yang keempat adalah jalan setapak yang melintas di depan gubuk itu.
Gubuk itu sangat sederhana, di dalamnya hanya ada sebuah bangku dan bekas-bekas api. Tampaknya si penghuni gubuk pernah membakar ubi di sini, sisa-sisa ubi bakarnya masih ada. ”Kita tunggu sebenar di sini ya, menunggu jeputan ojek. Pak Gilang tolong tinggal di sini dan jaga mobil”, perintah Pak Anwar. Haa...naik ojek...udah lebih lima puluh kilometer naik mobil, dari jalan raya, jalan kebun, dan sekarang jalan setapak naik ojek. Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Apalagi kami cuma bertiga, kalau dirampok di tempat ini, pasti saja status kami bisa MIA (Missing in Action).
Kira-kira setengah jam kami menunggu, tidak ada tanda-tanda ojek yang akan lewat. Tidak berapa lama setelah itu, melintas seseorang dengan sepeda motor. Aku berpikir, inilah ojek yang kami tunggu. Ternyata orang itu adalah salah satu pemilik kebun sawit di pinggiran perkebunan ini. Di daerah itu, wilayah perkebunan perusahaan berbatasan langsung dengan perkebunan milik petani, namun kita bisa membedakannya dengan pasti mana sawit milik petani dan mana milik perkebunan. Tentu saja milik perkembunan buahnya lebih besar dan pohonnya lebih terawat karena telah menerapkan manajemen modern dan memiliki sumber daya yang mencukupi untuk merawatnya. Sedangkan milik petani, pohonnya tidak begitu terurus dan buahnya biasa-biasa saja. Ya maklum saja, yang penting pohonnya bisa berbuah dan dijual, kalau harus mengeluar dana untuk manajemen dari mana lagi uangnya, modal terbatas bro...
”Ayo kita jalan saja Dian, kalau ditunggu lama, bisa kemalaman kita sampai di kantor”, ajak Pak Anwar. Aku mengikuti saja apa katanya, toh aku juga tidak tahu daerah ini, kalo ditinggal bisa-bisa gak tau jalan pulang. Kira-kira satu kilometer kami berjalan, kami melewati sederetan rumah, bukan kampung, cuma deretan rumah, kira-kira ada tiga rumah dideretan itu. ”Ada juga orang yang tinggal di sini ya Pak?”, selidikku. ”Iya Dian...mereka itu bukan orang sini, rumah mereka di sini cuma untuk tinggal menjaga kebun sawitnya. Walaupun begitu karena sering lama tinggal di sini, rumah-rumah di sini sudah dilengkapi seperti rumah sendiri”. Aku mulai menyeka keringat yang mulai menetes. Sepatu dinasku yang tadi malam ku semir kilap, kini sudah berubah warna menjadi belang-belang putih. Kalau tahu begini, aku bawa sepatu kats aja atau beli sepatu bot sekalian, biar kaki nggak cepat capek.
Aku lihat ke depan jalan yang kami lalui seperti buntu, di depan hanya ada semak-semak tinggi. ”Masih jauh lagi Pak tempatnya ?”, tanyaku lagi. ” Tanang Dian...dekat lagi, beberapa meter di depan sana”. Aku tidak membantah mendengar jawaban yang membuatku bingung. Bagaimana tidak bingung, di depan hanya ada semak belukar dan lalang yang tinggi, jalan mana lagi yang mau ditempuh...
Menjelang sampai di sekitar semat belukar tersebut, pelan-pelan terkuak bayangan sebuah jalan setapak yang lain. Hah..aku pikir udah buntu jalannya ternyata masih bersambung. Kami melewati jalan itu dengan langkah pasti. Perasaanku lebih lagi, karena aku merasa masih ada lagi harapan bertemu kampung di depan.
Setelah hampir dua kilometer berjalan, kami tiba dipinggiran kampung. ”Nah Dian...rumah yang kita tuju ada di ujung kampung ini”, Pak Anwar memberitahuku. Aku perhatikan dengan seksama lingkungan kampung itu. Sederhana, rumahnya sudah banyak yang permanen, yang semi permanen juga tidak sedikit. Jalan utama di kamung itu membentuk huruf L, jadi aku baru bisa melihat ujung kampung setelah melewati tikungan jalan. Sampai di sini lebih heran lagi, ujung kampung mana lagi yang harus dilalui karena di depan sudah mentok..lho kok mentok, ya karena di depan itu sungai...sunga besar, lebarnya kira-kira lima puluh meter.
Pinggiran sungai tersebut seperti kampung nelayan, sampan-sampan dan satu dua perahu besar merapat di tepi kampung. ”Masih jauh lagi ya Pak ?”, tanyaku gusar. ”Nggak...kita cuma harus menyeberang sungai ini. Nah itu dia, kita naik sampan itu”, tunjuk Pak Anwar. Walah...udah berkendara lebih lima puluh kilo, jalan kaki tiga kilo sekarang harus menyeberang sungai. Memang perjalanan ini tidak bisa dilihat seperti adanya. Batas-batas sungaipun harus ditempuh demi mendapatkan target dana sesuai yang diharapkan perusahaan.
Kini aku sudah berada di atas sampan, tepat berada di haluan sambil memperhatikan tujuan kami. Ya..sebuah rumah di seberang sungai, pemiliknya adalah seorang Haji. Konon kreditnya macet bukan karena dia tidak punya uang, tetapi karena dia malas keluar untuk membayar angsuran. Ya bayangin aja, keluar harus naik sampan, naik ojek baru bisa naik bus ke kota kabupaten. Lelah dan asik perjalan ini. Yang jelas memberikan petualangan tersendiri dan memberikan hikmah pelajaran yang sampai saat ini terus aku ingat. Jangan pernah memandang sesuatu dari luarnya, coba lihat ke dalam, maka akan berbeda hasilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar