Suatu hari seorang istri menunggu suaminya untuk menjemputnya dari pasar. Setelah menunggu lebih dari setengah jam dari waktu yang dijanjikan suami untuk menjemput, sang istri komplain kepada suaminya.
Istri : "Pa... kenapa lama sekali datangnya, Mama sudah lebih dari setengah jam menunggu"
Suami : "Maaf Ma... Papa tadi harus ke Kantor Pos, mengantarkan surat titipan teman Ayah. Ternyata di
Kantor Pos lagi ramai, jadi lama antrinya".
Istri : "Mama kan sudah katakan, jemput Mama, kenapa Papa mesti juga datang terlambat".
Suami : "Iya... Ma... Papa tahu, tapi situasinya tidak terduga, sementara surat itu harus dikirimkan hari ini,
karena besok harus sampai. Surat itu penting dan menyangkut masa depan temen Papa itu"
Istri : "Tapi Mama udah bosan menunggu terlalu lama, Papa harusnya mengerti donk.. Surat itu masih
dikirim bisa setelah menjemput Mama... gimana sih" #sambil sewot
Suami : "Mana mungkin Ma, Papa harus berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang sama,
Mama mikir donk" #dengan nada suara mulai meninggi
Akhirnya pertengkaran pun berlanjut tanpa ada solusi.
Sebenarnya apa yang terjadi ??? Dalam percakapan suami - istri tersebut sebenarnya tidak ada yang salah. Kedua belah pihak benar. Ketiadaan solusi terjadi karena pemahaman kedua belah yang berbeda dalam menyikapi masalah yang terjadi. Masalah utamanya adalah TERLAMBAT MENJEMPUT ISTRI. Tapi sikap keduanya berbeda dalam memahami masalah.
Sang Istri tetap berkeras bahwa dia telah menunggu lama dan tidak dijemput lebih dari setengah jam. Sang suami juga berkeras bahwa keterlambatannya karena dia harus antri di kantor pos. Kedua belah melakukan pendekatan penyelesaian masalah secara berbeda. Sang suami menggunakan logika, sedangkan sang istri menggunakan perasaan. Alasan suami adalah logis dan bisa diterima dengan akal sehat bahwa ia terlambat karena harus antri di kantor pos, sedangkan alasan istri juga bisa diterima secara perasaan karena dia merasakan bahwa dia terlalu lama menunggu atau dengan kata lain rasa kurang diperhatikan.
Inilah yang kadang-kadang harus kita perhatikan dan sikapi dalam merespons suatu masalah. Kadang-kadang secara logika memang respons kita benar, tapi orang kadang-kadang menggunakan perasaan yang tidak logis untuk meresponsnya. Lalu bagaimana menyikapinya. Harus disinkronkan, disamakan, diselaraskan pendekatannya.Pendekatan solusi awal yg dilakukan adalah pendekatan dengan perasaan. Mencoba merasakan seperti yang dirasakan oleh oposan (lawan) bicara kita, baru kita merespons. Namun, respons perasaan ini harus tetap dalam kendali logika, harus tetap memperhatikan fakta-fakta yang terjadi sehingga tidak terjerumus pada nafsu kesenangan atau kebencian. Artinya dalam contoh suami istri di atas, suami jangan sampai marah-marah karena jadi benci sama istrinya akibat sang istri tidak bisa menerima alasannya. Begitu juga kalau suami terlalu sayang sama istrinya, jangan diterima saja tanpa memikirkan akibatnya. Bisa-bisa jadi "Suami-Suami Takut Istri..." Setelah mampu dirasakan, baru kita memikirkan bagaimana secara logika menyelesaikan masalahnya. Dalam kasus di atas, sang suami sebenarnya tidak usah mendebat lagi, karena memang tidak ada gunanya, mendingan merayu istrinya supaya istrinya jadi senang (menurut logika senangkan istri supaya tidak banyak protes, menurut perasaan kata-kata rayuan bisa menyenangkan istri, walaupun senang atau tidak senang belum tentu ada hubungannya dengan masalah tersebut). Tapi itulah pendekatan masalah, perasaan dalam kendali logika... Abstrak, rumit dan tak terduga...
Butuh keseimbangan antara kecerdasan emosi dan intelijensi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar