27 Des 2013

Dosen - Antara Cinta dan Pemaksaan....

Sudah jadi budaya waktu mahasiswa dulu di kampus saya, bahwa setiap mahasiswa sebelum tamat sudah mempunyai pekerjaan. Di kampus sangatlah membagakan jika belum tamat kuliah sudah bekerja atau punya pekerjaan. Sangat membagakan bahkan lebih membagakan daripada dapat IP atau IPK dengan predikat Cum Laude...

Akhirnya, menjelang semester akhir dan menuliskan tugas akhir, saya mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan awal yang saya lakukan adalah menjadi Asisten Laboratorium, walaupun ini sepertinya cuma ekstrakurikuler, tapi saya sudah menganggapnya seperti pekerjaan profesional. Sejak itu, saya terpikat dengan bidang presentasi dan memberikan penjelasan kepada orang dengan terang dan jelas, ikhlas, tanpa peduli berapa penghasilan yang akan saya terima.



Penghasilan saya pun meningkat ketika dapat tawaran sebagai programmer pada salah satu perusahaan software house. Di sini saya belajar tentang arti sebenarnya profesionalisme, belajar tentang tuntutan sebenarnya arti dari pelanggan tanpa ada jarak yang memisahkan. Kalau di kampus, pasti tingkatan status, walaupun hanya sebatas asisten laboratorium memberikan pengaruh terhadap objektifitas penilaian pelanggan.

Kedua pekerjaan itu sebenarnya saya suka, satu sisi saya suka berbagi, satu sisi lagi mendapatkan pengalaman dan hal-hal baru. Akhirnya sampai sekarang, melakoni kedua pekerjaan tersebut. Tapi tentu saja peringkat saya sekarang system analyst, bukan lagi programmer dan grade saya tidak lagi asisten laboratorium, tapi sudah jadi dosen.



Tapi semenjak 5 - 7 tahun lalu, muncul banyak peraturan dan kebijakan dari pemangku kebijakan pendidikan yang dalam hal ini adalah Kemendikbud melalui DIKTI. Kalau saya pikir sih baik, artinya ada usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia melalui usaha-usaha peningkatan kompetensi dosen.

Tapi yang saya keluhkan adalah caranya dan pertimbangannya. Adalah sangat berbeda antara kondisi PTN dengan PTS. PTN dari awal perekrutan dosen, memang terdedikasi untuk mengajar, sedangkan PTS, perekrutan dosen dimotivasi dengan banyak variasi, dari mulai mengajar, membantu teman, mengekspresikan diri dan lain-lain. Belum lagi, dosen-dosen PTS itu sebenarnya banyak punya pekerjaan lain di luar pekerjaannya di kampus. Kalaupun ada yang menetap di kampus, itu bisa dihitung dengan jari.

Nah... jaman berubah, PTS mulai merekrut dosen yang bisa menetap di kampus, tapi muncul permasalahan baru. Pengeluaran PTS jadi bertambah, karena harus membayar dosen dengan tingkat penghasilan UMR, belum lagi ada biaya-biaya keprofesionalan lainnya, seperti penelitian, pengabdian, bahkan pendidikan dan pengajaran juga mengalami peningkatan biaya.

Di samping itu, motivasi dosen berubah, yang tadinya didominasi oleh orang-orang yang mencintai pekerjaannya atau terpanggil dalam mengabdikan dan mengekspresikan diri, berubah menjadi tempat mencari nafkah. Artinya, panggilan jiwa menjadi turun prioritasnya berganti menjadi panggilan periuk. Akibatnya, idealisme menjadi terganggu, misalnya dengan banyaknya pembentukan proyek, kutipan, dan lain-lain. Untuk proyek-proyek penelitian sih perkembangannya menjadi baik, namun sering kali hanya dijadikan ajang pemenuhan persyaratan untuk "dapat uang". Bukan berkonsentrasi pada tujuan lagi.

Tuntutan dosen juga semakin meningkat, awalnya hanya tamat sarjana sekarang harus bisa meraih pendidikan sampai master (S2) bahkan doktor (S3). Baguskah itu??? Bagus... bahkan sangat bagus tujuannya. Tapi ya itu tadi, masalahnya ada di cara. Misalnya, berapa lagi waktu, biaya dan tenaga yang harus dikeluarkan, bagaimana fasilitasinya. Trus ilmu-ilmu lapangan dan keprofesionalan dosen-dosen lama, terutama bagi mereka yang sudah lama berkecimpung di dunia praktisi apa tidak menjadi pertimbangan???

Belum lagi, kesenjangan antara dunia perguruan tinggi dan praktisi jadi semakin besar, karena apa? Kondisi dan situasi di dunia praktisi berkembang sangat cepat, sedangkan perkembangan di dunia perguruan tinggi melambat. Belum lagi, dosen-dosen terpaku pada ilmu-ilmu dasar, tanpa mengikuti perkembangan di luar kampus. Kenapa bisa begitu? Ya karena sudah sibuk ngurusi pekerjaan di kampus ataupun tidak punya cara untuk melakukan pekerjaan di luar kampus, karena sudah dijejali dengan berbagai macam syarat dan ketentuan menjadi dosen.

Sampai sekarang, pekerjaan dosen merupakan salah satu pekerjaan yang sangat saya cintai. Saya rela menghabiskan waktu, tenaga, dan dana untuk melengkapi materi-materi kuliah yang sebenarnya harus didukung oleh pihak kampus. Tetapi bagi saya, daripada menunggu tersedianya fasilitas dan dana, kenapa tidak diusahakan sendiri menciptakan fasilitas tersebut? Karena saya tidak rela melihat mahasiswa saya FAKIR ILMU karena sarana dan prasarana belum ada. Saya merasa bertanggungjawab dan menjadi beban moral untuk membuat para mahasiswa saya bisa menguasai atau paling tidak memahami keilmuan yang saya ajarkan. Kalaupun tidak sampai advance... ya minimal yang dasarnya harus dikuasai.

Trus penghasilan bagaimana? Kalau itu jangan ditanya ke saya, karena saya mengajar bukan untuk penghasilan. Penghasilan saya di dunia praktisi sudah lebih dari cukup untuk hidup saya. Tapi bukan itu yang jadi perhatian saya. Maksudnya, janganlah para dosen yang dengan ikhlas menyumbangkan tenaga, waktu dan pikirannya tadi harus dibebani dengan masalah birokrasi, aturan, kebijakan yang rumit, memaksa dan kalau boleh dibilang seperti mengeliminir dosen-dosen yang tidak bisa berkonsentrasi di kampus. Artinya konsentrasi di kampus adalah segalanya dan jangan terganggu kegiatan di luar kampus.

Ya sepintas lalu idenya baik. Tapi untuk PTS, kondisinya berbeda. PTS-PTS dengan dana yang tidak terbatas, tidak masalah dengan kebijakan tersebut, karena mereka bisa membayar dosen-dosennya dengan layak. Nah, PTS-PTS yang pas-pasan, gimana??? Trus dengan dana pas-passan, PTS-PTS tadi harus menaikkan uang kuliah (SPP) mahasiswa, trus mahasiswa yang kurang mampu gimana? Atau yang kurang mampu dilarang untuk kuliah.... Lho... kan ada beasiswa??? Yup... memang benar, beasiswa itu ada, banyak pun, tapi yang sampai ke PTS-PTS kurang mampu tadi berapa, trus pemenuhan persyaratan beasiswa yang super rumit dan penuh birokrasi itu gimana???

Dalam hal ini, saya menyimpulkan bahwa tuntutan yang tinggi kepada dosen, dari mulai pendidikan formalnya harus S3, penyediaan bahan materi pengajaran yang lengkap, penelitian dan pengabdian masyarakat yang intens dan luas tidak disertai dengan kemampuan penghargaan dan dukungan. Semuanya harus dilakukan dengan mandiri. Ibarat kuda menarik pedati, kuda tidak perlu diberi makan, tapi tetap disuruh menarik beban berat, bahkan beban itu ditambah dan ditambah lagi...

Lha... kan sekarang sudah ada sertifikasi dosen dengan penghasilan yang layak.... Ya benar, tapi berapa yang dapat sertifikasi, dan bagaimana dosen-dosen yang kurang dana untuk bisa sertifikasi. Untuk memenuhi persyaratan pengajaran, penelitian, dan pengabdian saja sudah kembang kempis. Kalaupun ada bantuan dari PTS atau pemerintah, ya paling berapa, dan berapa orang yang dapat dari sekian banyak dosen???

Sekali lagi, sebagai dosen dengan profesi praktisi, bagi saya ini adalah tidak manusiawi walaupun dengan alasan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Karena pada hakikatnya para dosen hanya berkonsentrasi pada pemenuhan persyaratan administratif daripada pemenuhan hakikat pengajaran, pendidikan, penelitian, dan pengabdian itu sendiri. Jadi, cara gampangnya sediakan checklist administrasi, dan lakukan pemeriksaan setiap akhir semester, tinggal cari bukti untuk pemenuhan checklist, caranya terserah. Belum lagi tidak meratanya bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan para dosen dalam memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh DIKTI lagi.

Oke... itu baru urusan formalitas alias administrasi. Urusan realisasi bagaimana? Wah... ini lebih dahsyat lagi... Yang paling ringan adalah mengajar. Buat materi, cari materi, cari sumber urusan sendiri, usaha sendiri, biaya sendiri... Okelah yang ini masih bisa ditoleransi, karena akan berhadapan langsung dengan mahasiswa dan jangan sampai materi yang disampaikan sia-sia atau sikap mahasiswa yang kurang antusias karena metode presentasi dan diskusi yang membosankan. Trus untuk urusan paper, karya ilmiah, penelitian. Gak punya dana, ya cuma nulis proposal, syukur kalau diajukan diterima dan dapat dana. Mau publikasi di seminar atau jurnal, butuh dana lagi, minimal setengah juta rupiah untuk satu materi. Bayangkan kalau kita nulis buku, uang gak keluar, malah dapat royalti dari hasil nulis. Nulis paper... cuma bangga dan bisa memenuhi syarat administratif. Mau... pengabdian... lebih rumit lagi... Cari desa, lembaga masyarakat atau komunitas di masyarakat yang mau nerima pengabdian kita, biaya-biaya tanggung sendiri... Intinya cuma buat laporan dan bagaimana bisa dapat tanda tangan dari pejabat yang berwenang, udah bisa dianggap pengabdian.

Itu baru untuk input datanya. Soal prosesnya, jangan ditanya lagi. Kalau sudah mengirim berkas, trus ada jawaban berkas belum masuk, data belum diterima, verifikasi belum selesai, berkas hilang dan harus kirim lagi, sudah lewat tanggal itu adalah masalah biasa. Karena tidak semua orang tahu bagaimana harus melakukannya. Bantuan, ya cuma sosialisasi... Datang ke Kopertis, cuma jadi "bola yang siap dioper"... Apalagi tak punya koneksi dan dana yang memadai, jangan coba-coba berurusan di sana, runyam... jawaban yang diterima selalu kurang memuaskan, tak ada pengarahan, yang ada jawaban yang tidak pasti... Kalau di TIKI, JNE, atau DHL, begitu kiriman masuk, kita akan jelas, barang kita sampai dimana dan siapa yang menangani. Kalau urusan birokrasi... GELAP... RUMIT... dan ABSTRAK... Ditanya aja gak jelas, apalagi gak bertanya... 

Input oke, proses oke, nah sekarang tinggal output. Melaporkan lagi ke DIKTI via Kopertis tentang apa yang sudah dilakukan. Di sana disensor lagi, verifikasi lagi, ntah bagaimana lagi prosesnya di sana. Kita gak intens mencari informasi, bakalan gelap... gak ada informasi yang tersedia, semua harus ditanya... Kalau bahasa AI-nya stupid learning... 

Udah itu barulah siap-siap sertifikasi. Prosesnya??? Subjektifitas asesor sangat dominan, jadi pintar-pintarlah melobi asesor...

Dari ketiga tahapan mencapai predikat dosen profesional di atas, semuanya butuh dana yang tidak sedikit. Dan itu masih ditambah lagi dengan mempertahankan sertifikasi, karena tetap ada evaluasi, harus nulis, seminar, dan meneliti lagi... ujung-ujungnya uang lagi... Aaah... kalau dipikir, kapan urusan uang selesai... Kayak belajar hacking, makin dipelajari, makin ketinggalan, makin diikuti makin banyak uang keluar...

Kasus terburuk yang mungkin saya hadapi adalah meninggalkan profesi dosen saya walaupun dengan rasa sedih dan penyesalan yang mendalam karena saya tidak bisa lagi berbagi ilmu dan wawasan dari apa yang saya dapat dari luar kehidupan kampus. Tapi saya tidak berdaya dengan sistem birokrasi pendidikan yang memaksa tanpa punya banyak pilihan.

Ya... semoga saja, pendidikan tinggi di Indonesia bisa lebih maju, dan tidak makin terbelakang karena terlalu sibuk dengan urusan birokrasi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar