2 Jan 2014

Film 47 Ronin - Visualisasi yang Gagal

Sudah nonton film 47 Ronin??? Bagi yang sudah tentunya punya pengalaman sendiri, bagi yang belum, tentunya bikin penasaran... Nah... kebetulan saya sudah nonton filmnya. Awal keinginan menonton adalah apakah aksi Keanu Reeves di sini sepadan dengan akting Tom Cruise dalam The Last Samurai dan apakah ceritanya benar-benar sebuah perkuatan filosofi dari sejarah 47 ronin yang sebenarnya?


Saya tidak akan menceritakan sinopsis film, silahkan lihat dan baca dari sumber-sumber lain yang sudah mendeskripsikannya secara panjang lebar. Di sini saya cuma memberikan penilaian saya atas film tersebut. Kalau ditanya apa hak saya menilai, ya... hak saya adalah penonton dan penikmat film, apakah bisa memuaskan "rasa" saya atau tidak...

Secara cerita film ini bagus. Berlatar belakang jaman feodalisme Jepang, dimana waktu itu Jepang di bawah pemerintah Shogun dengan para Panglima Perang (Dimyo) yang diangkat jadi gubernur di wilayah-wilayah lokal. Para Dimyo itu mempunyai pengawal yang disebut Samurai. Awalnya Dimyo adalah para tuan tanah, dan Samurai adalah para petani atau warga yang tinggal di tanah para tuan tanah tersebut. 

Karena seringnya terjadi perampasan tanah dan perampokan harta benda, maka para tuan tanah membentuk pengawal yang biasanya diambil dari warga setempat dan dibayar oleh para tuan tanah. Tetapi karena begitu dekatnya perasaan dan rasa pengabdian para pengawal tadi kepada majikan mereka (tuan tanah), maka mereka membuat kode etik dari gabungan beberapa aliran, sehingga terciptalah ajaran Bushido, dan mereka yang menjadi pelayanan (pengawal) para tuan tanah memiliki status sosial bernama Samurai.

Status Samurai melekat pada semua pengawal dan pegawai istana tuan tanah (dimyo), dan itu terikat bukan pada daerah yang dikawal tetapi melekat pada pribadi tuan tanah. Akibatnya, jika tuan tanah tidak ada lagi (atau keluarga tuan tanah) tidak memerintah lagi (tidak lagi memiliki kekuasaan atau tanah) yang bisa terjadi karena adanya pembunuhan, peperangan atau karena perintah shogun, maka para pengawal tadi (yang disebut Samurai) menjadi pengawal tanpa majikan atau disebut Ronin.

Pemunculan monster rusa berkepala srigala di awal film sebenarnya sudah membuat suasana alur cerita menjadi rusak. Mungkin maksud dari penulis skenario adalah menggambarkan bahwa provinsi Ako diserang semacam wabah atau binatang buas. Tapi menurut saya, visualisasi monster rusa berkepala srigala yang ukurannya hampir sebesar gajah membuat taste para Samurai jadi kurang terasa. Rasanya jadi seperti film Lord of Rings atau Harry Potter yang memang serasa dongeng penuh dengan keajaiban. Jadi sutradara menekankan pada keajaibannya, bukan pada semangat para Samurainya.

Sebenarnya tren film-film Hollywood 3 tahun terakhir merubah trend itu. Para superhero yang benar-benar kuat saja, digambarkan menjadi lebih manusiawi, punya kelemahan dan harus kalah dengan menderita di awal-awal cerita. Silahkan lihat film Man of Steel, Iron Man 3, dan Star Trek "Into the Darkness".

Pencintraan Putri Mika sebagai anak seorang dimyo juga serasa kurang berwibawa. Jadi lebih seperti dayang-dayang istana saja, bukan sebagai putri mahkota. Mungkin bisa lebih baik digambarkan jika putri Mika itu punya kemampuan khusus, ntah menggambar, menulis, atau punya keistimewaan apa secara keturunan yang bisa menunjukkan bahwa dia itu putri istana, bukan dayang-dayang istana.

Selanjutnya, penyihir yang dimiliki oleh Kira, tokoh antagonis yang ingin menguasai Ako dan membunuh Asano (penguasa Ako). Kurang "rasa" untuk jadi penghasut yang bisa meluluhlantakkan keputusan-keputusan Kira. Tidak digambarkan dengan detil bagaimana dekatnya dia dengan Kira, hanya sebatas pelayanan dan pengawal.



Akting dari  (pemeran Kira) sudah hampir sesuai, dingin, kejam, licik, tapi sekali lagi, visualisasinya kurang kuat. Kekejamannya hanya ditujukkan dengan menginjak-injak rekan latihan pedannya saja. Bisa lebih pas kalau kekejamannya itu bisa berkarakter kuat kayak Lord Sidisius dalam Star Wars atau Khan dalam Star Trek into Darkness. Mungkin bisa ditunjukkan bagaimana dia mengeksekusi tahanan, menangkap, menyiksa, membunuh atau warga desa.


Peran yang sangat berkarakter, bahkan mengalahkan karakter Kai (Keanu Reeves) dalam film ini adalah Oishi yang diperankan oleh Hiroyuki Sanada. Akting dan perannya sebagai kepala pengawal (samurai utama) Ako sudah seperti sebenarnya. Tapi sekali lagi, visualisasinya kurang dramatis, misalnya ketika dia dikurung di ruang bawah tanah, tidak ada perubahan yang berarti atau ketika setahun kemudian dia dikeluarkan dari ruang tahanan, tidak ada perubahan yang berarti pada fisiknya, seperti lemah, tertekan mental. Semuanya berjalan normal, kayak gak pernah terjadi apa-apa.


Adegan anak Oishi yang berlatih pedang dengan semangat juga kurang mencapai tujuannya yaitu anak yang mewarisi semangat ayahnya. Adegan itu sepintas lalu, dan hanya di-shoot dari balik pintu. Jika isti Oishi tidak menyebutkan bahwa si anak (Cikara) sedang berlatih pedang, maka penonton tidak mengetahui dengan pasti apa yang dikerjakan Cikara. Bisa saja ia sedang menolong ibunya memotong kayu.

Yang sangat mengecewakan adalah visualisasi perbudakan yang dialami Kai (Keanu Reeves) yang dijadikan gladiator di sebuah pulau yang berisi pelaut-pelaut dan perompak Eropah. Dalam pertarungan itu, Kai bertempur dengan algojo yang mirip dengan monster Orch dalam film Lord of The Rings. 



Dan yang membingungkan adalah munculnya kepala bajak laut dengan wajah penuh tato. Awalnya penonton bingung karena tokoh itu tidak menyatakan bajak laut. Setelah ada dialog, baru penonton bisa mengerti bahwa itu adalah kepala bajak laut.


Yang paling saya tunggu waktu film ini adalah kembalinya Kai untuk bertarung dengan samurai raksasa. Samurai yang jadi pengawalnya Kira dan mengalahkan Kai di awal pertarungan ketika festival perayaan di istana Asano (negeri Ako), dimana pada waktu itu kepala Kai terpukul dan helm samurainya terlepas sehingga ketahuan bahwa yang bertarung adalah Kai dan dianggap bukan samurai.

Namun, sekali lagi kecewa, karena pertarungan itu tidak pernah terjadi. Samurai raksasa hancur berkeping-keping kena bom yang dipasang para Ronin ketika menyerbu istana Akira.


Adegan penyerbuan ini juga kurang dramatis, masih kalah dengan pertempuran Kingdom of Heaven atau Prince of Persia.

Tempat asal Kai sebagai lembah kematian kurang digambarkan dengan penuh misteri dan hororisme. Tidak lebih seperti petualangan Oz The Great and Powerful. Padahal masih bisa lebih menyeramkan lagi setingkat dengan petualangan the Mummy atau Tomb Rider.

Para penunggu lembah kematian juga divisualisasikan seperti biksu dengan mata reptil. Mungkin bisa lebih diterima jika divisualisasikan dengan ninja yang menyeramkan karena teknik membunuh dan bertempurnya sangat rumit, rahasia dan mematikan.


Adegan pertempuran terakhir antara Kai dengan The Witch (penyihirnya Kira) sebenarnya bisa lebih dramatis lagi. Seharusnya digambarkan sedahsyat pertempuran Master Yoda dengan Lord Sidius dalam Star War atau seseru duel Donny Yen dalam 14 blades.

Sekali lagi taste film ini sangat jauh dari harapan, walaupun ide dan jalan ceritanya sangat menarik, tetapi sutradara gagal membuat visualisasi yang membuat penonton excited


1 komentar:

  1. Saya begitu menyukai artikel yang disajikan dalam blog ini,
    Semoga sukses terus memberikan informasi bermanfaat utk semua orang.

    BalasHapus

Silahkan memberikan komentar