23 Feb 2014

Budaya Riset di Indonesia - Merepotkan dan Tak Bermanfaat

Banyak di antara kita, ya kalau kuliah itu cuma hadir ke kelas dan mendengarkan presentasi dosen, ngerjai tugas, atau siap2 ujian... Atau dosen itu cuma datang, presentasi di kelas, trus bikin soal ujian. Tapi ada kegiatan lain yang harus dilakukan, yaitu riset. Di Indonesia memang riset itu sesuatu yang merepotkan dan gak jelas manfaatnya apa.. Kecuali memenuhi persyaratan. Buktinya banyak hasil riset cuma tinggal di perpustakaan atau di laboratorium. Jarang ada tindaklanjutnya... Riset itu hanya tujuan bukan perantara mencapai tujuan. Sekarang ini gengsinya malah naik kalau bisa publikasi di jurnal atau proceeding nasional maupun internasional, supaya dianggap bermutu, padahal tetap aja, gak ada manfaatnya. Jadi siklusnya : Riset - Perpustakaan - Jurnal/Proceeding. Jadi secondary objective-nya adalah GENGSI dan DIANGGAP BERMUTU (padahal belum tentu) ...

Tapi memang benar, riset itu merepotkan dan tak ada guna... karena budaya kita blm mendukung untuk menindaklanjuti atau menghargai hasil riset.

Bayangkan... Untuk buat dasar riset aja harus ada data valid yang lengkap, ntah itu survey pendahuluan atau referensi dari penelitian sebelumnya. Ini aja sudah susah, iya kalau sumber datanya kondusif, dan umumnya sumber-sumber data menaruh curiga kalau kita menggali sesuatu di situ, ntah takut aibnya terbongkar atau dianggap pihak usil ngurusi yang bukan urusannya. Trus para nara sumber atau sumber-sumber data tadi juga gak merasakan dampak riset yang dilakukan terhadap mereka, mereka itu cuma objek, sama kayak pasien di Rumah Sakit Umum yang jadi objek bagi dokter-dokter koas. Dokternya sukses diangkat jadi dokter, pasien tetap sakit, malah tambah parah. Gitu juga sumber data, ntah itu masyarakat atau instansi, perisetnya dapat penghargaan, namanya terkenal, masyarakat atau instansi tempat riset tetap berkutat dengan masalah yang sama tanpa ada solusi. Jadi gak sesuai hasil riset dengan yang mereka harapkan. Akhirnya para periset atau peniliti di Indonesia cuma dianggap PEMBOHONG BESAR, yang memanfaatkan pihak lain untuk ketenaran atau keuntungan pribadinya sendiri.

Belum lagi proses riset yang mengharuskan banyak baca referensi untuk dapat metode dan memperkuat landasan teori. Gak boleh ada khayalan tanpa dasar di situ, sebab nanti bisa jadi fiksi ilmiah, bukan riset. Ilmiah itu artinya valid, sesuai fakta, bukan khayalan atau opini kita sendiri, dibuktikan dengan data dan referensi. Wlp kadang2 khayalan kita masuk akal, tapi tanpa ada perkuatan bukti tetap jadi khayalan/opini. Setelah itu baru buat sintesis, penalaran dari metode dan landasan teori. Abis itu baru deh... berimajinasi dan membuktikan imajinasinya tersebut sesuai dengan fakta dan data yang ada melalui metode-metode tertentu... Membuat sesuatu menjadi make sense... berdasarkan sesuatu, bukan tiba2 muncul... Ntah itu melakukan perhitungan, pengumpulan data lanjutan, atau mendesain sesuatu... Di sini sudah menghabiskan tenaga, waktu dan pikiran. Kurang makan, kurang tidur, sampai kurang gaul, karena kena target waktu riset yang harus selesai. Ini belum seberapa lagi kalau dananya ditanggung sendiri... 

Setelah itu baru buat kesimpulan, hasil-hasil yang sudah didapat, maupun gagal didapat. Jadi memang riset bisa saja gagal tapi tetap saja dianggap hasil riset, asal bisa menjelaskan secara logis (didukung data dan fakta) kenapa riset kita dianggap gagal. Gagal bukan berarti dibuang, tapi dianalisa kembali kenapa gagal. Smp sini, riset dianggap selesai...

Kalau cuma motivasinya GENGSI... (malu...kl akademisi gak punya riset) atau cuma memenuhi syarat untuk dapat sesuatu, kayaknya riset itu memang benar2 BEBAN YANG MEREPOTKAN. Belum lagi kalau dananya ditanggung sendiri, kalau gak balik modal, jangan deh... merusak keuangan hanya untuk gengsi dan pencapaian yang gak seberapa. Kalau ada sponsor, kena target lagi sama sponsor, kalau gagal dana bisa gak cair, dan kredibilitas terancam.

Kalau bisa jangan ada riset deh... Karena udah jadi main stream juga, kita kuliah bukan karena mau tau ilmunya, tapi cuma pengen ijazah, biar dapat kerja dengan lebih mudah atau setidaknya gak kerja kasar... Karenanya sejarahnya orang Indonesia sekolah itu adalah untuk kerja, nguli, bukan untuk punya ilmu. Budaya amtenar itu jadi alam bawah sadar, sekolah untuk jadi ningrat : SEKOLAH - KERJA - JADI NINGRAT... (status naik)

Riset jadi asik kalau kita tau hasilnya bisa dibuat untuk sesuatu yang lebih berguna, ntah itu bisa memperbaiki sesuatu, mengatasi masalah atau paling tidak mengurangi masalah. Kembalikan niat riset itu mensolusikan sesuatu. Kalau cuma diwajibkan sebagai syarat sesuatu atau untuk mendapatkan sesuatu, atau cuma untuk gengsi-gengsian... kayaknya riset itu gak penting .... Bikin formalitas aja... alias bikin bukti ada riset walaupun riset itu tak ada gunanya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar