
Senja baru saja beranjak pergi. Lembayung merah pun masih menyisakan jejak. Tapi aku juga belum mampu meninggalkan kegelisahanku. Sambil berbaring di atas dipan (tempat tidur lapangan khusus tentara) lipat kupandangi langit-langit tenda barak yang sudah satu minggu ini berdiri di lapangan Lanud (Pangkalan Udara) Trisula. Ini adalah operasi militer pertama yang kuikuti. Antara takut dan penasaran yang menghantuiku. Bagaimana nanti jika tertembak, tertangkap atau disiksa musuh, atau bahkan mati. Tapi ingin juga merasakan ketegangan bertempur sesungguhnya. Tidak di simulasi dan tidak pula di game komputer.
Tiga hari yang lalu kami di kumpulkan di lapangan markas batalyon. Unit tempurku adalah Batalyon Lintas Udara yang berkekuatan tujuh kompi dengan jumlah personil hampir dua ribu orang. Keseharian kegiatan adalah latihan dan latihan, simulasi dengan semboyan lebih baik mandi keringat saat latihan daripada mandi darah ketika bertempur. Misi kami sebenarnya sederhana yaitu menguasai daerah Cakra Lalang yang merupakan daerah persimpangan yang strategis untuk masuk ke lembah Lesung. Lembah Lesung adalah lembah subur tempat banyak persawahan yang kini dikuasai oleh para Kartel Obat Bius yang menamakan dirinya Pejuang Pembebasan Rakyat (PPR). Untuk itu, tiga kompi (sekitar 500 orang) dari batalyon kami disiapkan untuk operasi khusus, menguasai dan mengamankan jalur logistik daerah Trisula untuk memudahkan pasukan Marinir dan Batalyon Bantuan Tempur melakukan infiltrasi (masuk) ke lembah tersebut. Begitu strategisnya daerah Trisula sampai PPR mengerahkan sekitar 2000 orang pasukannya (sekitar 2 batalyon) untuk mengamankan daerah tersebut. Bayangkan kekuatan kami hanya seperempatnya. Tapi kesatuan kami bukanlah tentara regular. Kesatuan kami adalah batalyon dengan kemampuan komando dan bertempur mandiri, sehingga masing-masing personil memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit reguler.
Waktu memang terasa lama, karena operasi ini begitu rahasia. Kami juga tidak tahu sampai kapan akan diberangkatkan ke medan tempur. Sampai saat ini pun status kami masih bersiaga. Seluruhnya serba rahasia, kapan dan dimana kami akan diterjunkan, kami pun tidak ada yang tahu.
Kalau lagi sendiri seperti ini jadi teringat lagu Iwan Fals dan Franky "Orang Pinggiran" terutama di bagian reffnya "Sepinya waktu kala sendiri, sambil berbaring meraih mimpi, menatap langit, langit tak peduli, sebab esok pagi kembali..." Kalau memikirkan keadaanku sekarang sebagai seorang tentara dengan pangkat Sersan Satu, memang tak pernah terlintas sebelumnya. Waktu mendaftar dulu, aku cuma ingin melalang buana, pergi dari satu tempat ke tempat lainnya dan berusaha melupakan "Gantungan Kunci Pujaan Hatiku". Tapi semakin lama dicoba, semakin pedih rasanya, semakin tinggi hasratku untuk kembali berjumpa dengannya. Semenjak tamat SMP dulu, belum pernah sekalipun aku berjumpa lagi. Tapi yang paling bodoh dari diriku dan menjadi penyesalan seumur hidupku adalah tak pernah aku utarakan apa yang menjadi isi hatiku padanya. Sampai SMA pun aku tidak banyak terlibat dengan cewek atau pacaran, energi dan pikiranku aku curahkan untuk menyelami penasaranku pada ilmu-ilmu pasti yang pastinya dari SD dulu telah membuatku penasaran.
Sampai akhirnya aku tamat SMA. Orang tuaku ingin agar aku masuk kedokteran, tapi aku tidak berminat. Ketika ada penerimaan di Sekolah Calon Bintara Angkatan Darat, akhirnya aku diterima dan digembleng selama 2 tahun pendidikan reguler dan 1 tahun pendidikan unit khusus. Memang pendidikan militer itu begitu keras karena nyawa taruhannya. Kadang-kadang bisa melupakan bahwa kita manusia. Salah sedikit bisa ditendang, dipukul. Kalau memar dan lecet adalah makanan sehari-hari. Kata-kata yang diucapkan pun tak ada yang lemah lembut. Segala macam nama-nama binatang pun keluar dari mulut para pelatih dan komandan. Dan kami, para siswa tidak boleh membantah apalagi protes. Kalau itu dilakukan bisa lebih gawat lagi akibatnya. Semangat korsa benar-benar ditanamkan. "Siaaaaap....grak", teriak pelatih menyiapkan seluruh siswanya. "Jalan di tempaaaaaat.....grak....". Keteprak...keteprok..teprak..teprok...bunyi sepatu boot khas PDL (pakaian dinas lapangan). Tiba-tiba suaranya menjadi gak kompak. "Hentiiiii...grak....", teriak pelatih lagi. "Goblok...tikus..tikus taik kalian semua. Sudah bolak balik saya jelaskan, saya suruh kompak, gak ada bisa. Sekarang ambil posisi push up. Bersiap puas 100 kali. Ingat, sehabis ini kalau masih salah lagi akan saya tambah push up menjadi kelipatan 50 setiap kali ada yang salah"...Begitulah...pleton kami termasuk aku harus merasakan bagaimana push up dengan perut tetap diangkat sebanyak 200 kali. Satu atau sebagian yang salah, seluruh anggota pleton harus merasakan akibatnya.
Giliran piket barak juga tidak kalah menakutkan daripada ikut latihan. Peraturan yang harus benar-benar dijaga adalah kamar harus terlihat rapi, lantai harus mengkilat tanpa ada kotoran sedikitpun, toilet harus bersih dan harum dan selalu diingatkan sehabis buang air besar atau kecil harus disiram dan tidak boleh ada kotoran yang tertinggal. Jangankan kotoran, baunya saja tidak boleh. Tapi memang pada suatu saat grup kami ketiban sial. Ntah siapa yang buang air besar di toilet kami tidak mau menyiram dan masih meninggalkan kotoran di lubang closet. Ketika apel pergantian jaga, kami pun segera dipanggil. "Grup A", taruna Amat, Beni, Ahmad...dan seterusnya hingga terucap Alex", silahkan maju ke depan.
Kami pun bingung, tidak biasanya kalau apel pergantian piket barak nama-namanya dipanggil. Komandan pelatih maju ke depan, dan tiba-tiba..."ketepak...ketepak...ketepok..." Tamparan tangan kanannya yang keras menghantam pipi kami. Nyeri dan panik rasanya, tapi kami harus tetap dalam sikap sempurna. Langsung saja pipi kanan kami merah dengan cap tangan. "Bodoh..pemalas...Lelet...Lalai" hardiknya dengan kasar. "Sudah saya ucapkan berkali-kali, sebagai piket barak, kalian harus periksa seluruh ruangan, bahkan toilet. Lihat apa yang kalian lakukan, toilet masih kotor. Tidak ada rasa tanggungjawab kalian. Sebagai hukuman, tidak ada waktu istirahat bagi kalian. Bersihkan kembali toilet. Angkat kotoran dari lubang closet dengan tangan kalian, sebagian kalian buang dan sebagian lagi kalian tempet di hidung kalian biar kalian ingat betapa fatalnya kesalahan sekecil apapun. Laksanakaaaaaaaaaaan !!!!", begitu perintah komanda."Siaaaaap Komandan", jawab kami serentak.
Dalam pikiran kami masing-masing terlintas tanda tanya, siapa yang sebenarnya melakukan sabotase karena kami sudah pastikan bahwa toilet sudah dibersihkan sebagaimana seharusnya. Tetapi perintah adalah perintah. Toilet dibersihkan sesuai dengan perintah komandan. Kotoran di lubang closes, berwarna kuning kecoklatan dipegang dengan tangan, dicuil sedikit dan cuilannya itu ditempelkan di hidung kami. Cuilan pertama yang aku dapat membuat aku muntah, seluruh yang aku makan tadi pagi tak bersisa, aku keluarkan semua dari perutku. Setelah beberapa saat baru aku terbiasa dengan baunya. Toilet disikat kembali, disiram kemali dibersihkan kembali sambil kami masing-masing mencium aroma sedap malam...Oh...beginilah jadi tentara itu.
Tak terasa, kejadian itu dua tahun telah berlalu. Kini aku adalah seorang tentara profesional yang bertugas menjaga negara dan bangsa dari gangguan-gangguan musuh-musuh negara, walaupun kadang-kadang dimanfaatkan penguasa untuk mencapai tujuan politiknya. Pikiranku terus menerawang ntah kemana, ingat Ibu, Bapak, adik dan tahu-tahu sudah terdengar azan Isya dari mesjid dari perumahan penduduk yang tidak jauh dari Lanud ini. Aku pun bergegas ke mushola.
Sehabis Isya aku belum bisa tidur. Semakin sepi, khayalanku juga semakin jauh. Teringat kembali si Gantungan Kunci Pujaan Hati, dimana kau sekarang, andai kita bisa berjumpa, akan aku katakan yang selama ini tersimpan, akan aku tinggalkan petualangan ini demi bidadari hati. Segala cara sudah ku lakukan, teman-teman lama yang dulu pernah bersama-sama juga sudah dihubungi, search engin internet juga sudah kujelajahi, namun belum juga ada tanda-tanda kehidupan. Kabar terakhir yang aku tahu bahwa rumahnya yang dulu, yang pernah aku tahu, aku bisa membakar semangat walaupun hanya dengan melihat rumahnya, sudah dijual dan keluarga itu telah pindah ke luar daerah.
"Wnngguuuuuuuuuuunggg....", tiba disentakkan dengan bunyi sirine tanda berkumpul dan bersiap dengan segala perlengkapan. Dengan cepat dan cekatan seluruh ornag yang ada di dalam barak bersiap diri dan menyiapkan seluruh perlengkapannya. Ini adalah alarm untuk berkumpul dan bersiap untuk di berangkatkan. Waktu menunjukkan pukul 23:15 ketika apel berangkat dimulai. "Para Prajurit Yang Gagah Sekalian. Hari ini negara membutuhkan bantuan kita. Membutuhkan semangat dan tenaga kita. Membebaskan Ibu Pertiwi dari kesewenangan dan kezaliman. Camkanlah...Jika hari ini gagal, maka negara bahkan anak cucu keterunan kita akan berada dalam kekuasaan para Kartel yang kejam, para Kartel hanya mengeruk kekayaan kita untuk kepentingannya. Apakah kita rela jika itu terjadi?"..."Siaaaap...Tidaaaaak" dijawab seluruh anggota pasukan dengan semangat. "Kalau begitu saatnya untuk kita buktikan bahwa negara ini masih mampu melindungi, negara ini masih mampu mengamankan rakyat dan masyarakatnya, negara ini masih punya wibawa dan negara ini masih bisa berjuang dan membela yang lemah, menyingkirkan segala kemaksiatan...serbu..serbu..serbu..."
Begitu perintah bubar barisan diberikan, seluruh anggota pasukan naik ke truk menuju lapangan parkir pesawat. Pesawat Angkut Hercules C-130. Tiga pesawat telah disiapkan. Dengan tertib dan sesuai dengan protap (prosedur tetap) operasi lintas udara kami naik ke pesawat-pesawat tersebut. Waktu telah menunjukkan pukul 00:30.
Perjalanan butuh waktu kira-kira 2 jam. Kami sebagai para penumpang juga tidak tahu pasti posisi dimana. Yang kami tahu jika lampu merah menyala maka kami bersiap untuk terjun. Semuanya dalam kondisi tegang. Diam dan bisu, hanya deru mesin pesawat saja yang terdengar. Waktu dua jam terasa begitu singkat. Tanpa ditunggu lampu merah di kabin telah menyala, berarti seluruh pasukan bersiap untuk terjun. Perintah berdiri dan bersiap diberikan. Pasukan berdiri dan membentuk barisan berbanjar. Aba-aba bersiap kedua diberikan. Sesuai dengan latihan yang telah diikuti. Seluruh pasukan telah mencantolkan pengait pembuka parasut pada kaitan yang telah disediakan. Kini lampu hijaupun menyala, perintah terjun segera keluar..."Go...go...go"....Satu persatu kami pun melompat dari pesawat dan diterkam pekatnya malam. Di bawah gelap gulita, hanya satu dua lampu seperti kunang-kunang di tengah kegelapan.

Sekitar delapan menit kemudian aku menjejakkan kaki ke tanah. Lega rasanya tes maut pertama telah terlewati. Sepertinya penerjunan kami benar-benar senyap dan musuh belum mengetahui apa yang terjadi. Tiarap sebentar, dan meyakinkan diri benar-benar aman untuk membereskan parasut dan bersiap ke bergerak ke titik kumpul (check point) berikutnya.

Pasukan dibagi menjadi 5 grup. Grup 1 bertugas menghancurkan markas musuh dan menangkap pemimpin markas hidup atau mati. Grup dua menghancurkan gudang perbekalan. Grup 3 mengamankan daerah masuk ke arah markas. Grup 4 mengamankan dan mengatisipasi bala bantuan yang mungkin datang dari arah utara tempat pasukan induk musuh berada. Grup 5 mengamankan para pasukan musuh yang mencoba lari atau meloloskan diri. Aku sendiri tergabung dalam grup 1.
Tidak ada satu letusan senjatapun yang boleh terdengar sebelum semuanya siap dalam posisi masing-masing dan terdengan aba-aba serang. Aba-aba serang adalah ledakan truk tangki bahan bakar yang diparkir tidak jauh dari gudang persediaan musuh. Dengan mengendap-endap aku bergerak dan merayap mendekati truk itu. Aku ditemani dua orang rekan, sersan dua Boy dan Kopral Kepala Leo. Ternyata mendekati truk itu tidak mudah. Di sekitar truk di tempatkan 5 orang penjaga dengan senjata lengkap. Kopral Leo aku perintahkan untuk mengamati keadaan dan benar-benar meyakinkan bahwa 5 orang itu bisa diatasi tanpa ada atau dengan risiko yang kecil.
Ternyata benar, mereka hanya grup jaga di gudang persediaan. Rencananya adalah melumpuhkan 5 orang tersebut dengan senyap. Sersan Boy aku tugaskan melakukan tembakan cepat ke arah dua orang yang berjaga berdekatan karena mereka asik mengobrol. Sedangkan aku dan Kopral Leo akan melumpuhkan dua orang yang berjaga berjauhan, masing-masing satu sasaran. Sedangkan satu orang lain ada di pos jaga dan akan menjadi sasaran Sersan Boy. Sersan Boy memasang peredam pada pistolnya, sedangkan senapannya dia gantung di belakang punggungnya. Kami pun menyebar menuju sasaran masing-masing.
"Cjep..cjep..." Pistol Sersan Boy menyalak dua kali, dan dua orang penjaga itupun roboh dengan lubang di kepala masing-masing. Dengan cekatan dan gerak cepat, Sersan Boy menyembunyikan kedua mayat penjaga tersebut. Kini giliranku beraksi, dengan diam-diam dan tetap senyap aku dekati penjaga yang melamun sendiri itu. "Bep.." Aku bekap mulutnya, dan dengan pisau komando aku tusuk lehernya kemudian pisau diseret ke kanan memotong urat nafasnya. Aku bekap lagi kuat-kuat sampai tak bersuara , hanya suara kroook...krook dari tenggorokkannya yang keluar. Setelah beres, aku sembunyikan mayatnya. Aku melakukannya sambil memejamkan mata. Rasanya campur aduk, membunuh pertama kali. Antara kasian karena sesama manusia dan menjalankan tugas. Apalagi darahnya telah membasahi tanganku. Tapi ya apa boleh buat, membunuh atau dibunuh, semoga Allah SWT mengampuniku.

Aksi Kopral Leo lebih gila lagi...merayap diam-diam, berlutut, begitu penjaga itu berbalik, pisau komandonya dilemparkan dan "jreb" tepat menancap di dadanya. Dari jarak 5 meter langsung "cjeb..cjeb", dua lubang dari peluru dari pistol glock berperedam langsung di kepala penjaga tersebut. Dengan cepat, mayat penjaga itu ditarik ke tempat aman untuk disembunyikan.
Dengan berguling-guling dan sedikit merayap, aku tiarap di bawah truk, kemudian dengan cepat teletang dan memasang bom bertenator remote. Jadi gak kayak teknologi jaman dulu, diatur pakai timer. Tinggal satu lagi penjaga yang ada di dalam ruangan gudang persediaan. Sambil duduk di kursi dengan bermalas-masalasan. Menghisap rokok, dan mendengarkan musik. Sersan Boy mendekat duluan di sebelah kiri pintu masuk, diikuti Kopral Leo dan aku di sebelah kanan pintu masuk. Ketegangan begitu terasa pada saat itu. Sersan Boy memeriksa kunci pintunya, ternyata pintu masuknya tidak dikunci. Sersan Boy memberi isyarat kepada Kopral Leo untuk masuk begitu pintu terbuka. "Satu..dua...tiga...Masuk...", pintu dengan cepat terbuka, petugas jaga di ruangan terkejut, dan berusaha mengambil pistol yang diletakkannya di atas meja. Namun, belum sempat pistol terjangkau..."cjep..cjep..cjep..cjep..cjep", empat butir peluru bersarang di tubuh pejaga tersebut, dan satu lagi bersarang di kepala. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Untung tidak ribut-ribut sekali dan mengundang perhatian. Dengan cepat aku juga ikut masuk dan memastikan ruangan-ruangan lain di dalam gudang persediaan itu aman. Sersan Boy juga membantu memeriksa ruangan-ruangan lainnya yang berseberangan arah dengan ruangan yang aku periksa.
"Clear...aku memberi isyarat dengan tangan"...Tak lama kemudian "clear.." isyarat tangan dari Sersan Boy aku terima. Ternyata gudang ini juga berisi persediaan makanan dan amunisi. Memang sayang untuk dihancurkan karena persediaan makanannya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu desa. Tapi apa boleh buat, kami tidak mau mengambil risiko gagalnya operasi ini hanya karena menyelamatkan makanan. Tiba-tiba lamunanku tersadar ketika pundakku disentuk Kopral Leo. Akupun segera menempatkan bom-bom bertonator remote pada tempat-tempat strategis. Setelah itu, dengan cepat kami keluar dan bergabung dekat lokasi Letnan Rifai dan regunya di dekat Markas Komandan Jaga musuh.
Regu Letnan Rifai diperkuat sebanyak 20 personil dengan 3 orang snipper (penembak jitu). Jika dilihat dari jumlah personil, mungkin sudah cocok jadi pleton. Tapi gak apa-apalah, gak usah dipikirkan sekali, yang penting operasi berhasil dengan sukses. Letnan Rifai adalah wakil komandan dalam operasi kali ini. Aku mendekati Letnan, dan berkata semua siap dalam posisi. Kontak radio dilakukan Letnan Rifai dengan seluruh komandan grup dan diterima..."ready on position".
"Bersiap Sersan Alex", aba-aba dari Letnan Rifai. Dengan bergegas aku siapkan remote dan menekan tombol "armed" untuk memicu bom yang telah diposisikan tadi. "Oke Fire in The Hole"...dengan cepat aku menekan tombol merah. Dan "Boooom", dari arah gudang persediaan membumbung api dan asap. Dengan cepat gundang persediaan musuh terbakar, hancur dan musnah. "Serbuuuu..." teriak Letnan Rifai. Langsung saja, tembakan-tembakan gencar dari semak-semak, parit-parit dan posisi-posisi strategis lainnya menyalak, menghantam sasaran di markas jaga musuh. Pasukan musuh panik dan kocar kacir, tak sedikit yang tewas terkena logam panas.
"Sersan Alex...bawa anggotamu langsung ke dalam, sisir semua tempat, dan tangkap tuh komandan brengsek"...perintah Letnan Rifai kepadaku. Aku segera mengisyaratkan kepada kedua rekanku, Sersan dua Boy dan Kopral Kepala Leo untuk memanggil tiga orang rekan lagi yang tadi aku perintahkan menunggu. Mereka adalah Prajurit satu Ucok, Prajurit Dua Ciko dan Kopral Dua Heri. "Bersiap Sersan...saya akan memberikan tembakan perlindungan. Tembakan perlindungan...Tembaaaaak", Perintah Letnan Rifai....ttup...ttup..ttup...Suara tembakan sahut menyahut. Tembakan perlindungan adalah tembakan gencar ke arah musuh untuk mengacaukan konsentrasi dan perhatian musuh agar kita bisa berganti posisi atau menyusupkan sebagaian pasukan ke posisi lain sambil melindungi pasukan yang berpindah posisi tadi.
Dengan segera aku dan anggota-anggota berlari menuju posisi aman dan lebih dekat dengan gedung markas. Segera saja kami terlibat dengan pertempuran jarak dekat. Dengan cepat dan cekatan aku, Boy, Leo, Ucok dan Heri memberikan tembakan. Agar pertempuran ini kami menangkan dengan jumlah sedikit, kami harus mampu menembak dengan cepat dan tepat, one shot one kill, kayak istilah sniper. Sedikit saja luput, maut langsung mengincar kami.
Secepatnya aku mengatasi 3 orang dengan tiga tembakan cepat, lalu melompat ke depan melewati pagar bangunan dan berguling, lalu cjeb..cjeb..cjeb, tiga tembakan lagi merobohkan tiga tentara musuh. Untuk memudarkan perhatian musuh, senapan-senapan kami dipasang peredam, sehingga begitu tertembak musuh akan sulit menentukan dari arah mana tembakan, kalaupun ditemukan sudah sangat terlambat, tembakan pamungkas akan menyelesaikannya.
Di tengah-tengah kobaran api dan desingan peluru kami terus melompat, merayap dan berguling. Sungguh menegangkan. Kalau dibilang takut, sangat takut, tapi kalau dikuasai rasa takut, bisa mati konyol disini. Tembakan-tembakan dari para pengawal komandan pun mereda diikuti gelimpangan mayat yang juga bertambah. Di luar para tentara musuh yang kocar kacir, panik dan menembak ke segala arah harus berhadapan dengan terjangan berondong senapan minimi yang gencar. Jika lolos, peluru-peluru snipper langsung menembus kepala.
Kini, tinggal ruangan komandan musuh yang belum tersentuh. Anggota timku bersiap. Sisi kanan pintu ada Kopral Leo, sedangkan sisi kirinya ada Prada Ciko. Di tengah ada Sersan Boy yang siap memberondong dengan minimi di tangannya. "Satu...dua...tiga", pintu dibuka cepat, granat dilemparkan kedalam. Kami menunggu di luar sampai granat meledak. "Duarrrr...duaaarrr...Duarrrrr", tiga granat meledak dengan cepat. "Go...go...go", perintahku...kami masuk, sambil membidik senjata, akupun menembak dengan cepat, menyapu setiap bayangan yang bergerak. Tiba-tiba..."ttak..ttak..ttak" suara senapan AK47 menyalak tiga kali, kulihat Kopral Heri berguling, sedangkan Sersan Boy terjungkal ke belakang. Tanpa pikir panjang aku arahkan senapanku ke arah AK47, aku berondong abis sampai peluru satu magazine abis. Dari balik tumpukan meja yang bolong-bolong terkena peluru ku mengalir cairan merah diikuti ambruknya sesosok tubuh. Ternyata komandan jaga musuh yang bersembunyi dan jadi penembak gelap. Kini menjadi sesok tubuh kaku dengan mata terbelalak. Kopral Leo segera mengamankan mayat komandan musuh tadi.
Kopral Leo, Pratu Ucok dan Kopral Heri mengamankan lokasi. Akhir "clear", lokasi aman. Aku segera bergegas ke tempat Sersan Boy terpental. Di sana ku temukan sesosok tubuh terluka. Ternyata dua peluru menembus tubuhnya. "Medis...medis...", teriakku. Kopral Leo pun bergegas mengambil rangselnya . Menyiapkan P3K sebelum petugas medis datang. Pratu Ucok dan Prada Ciko dengan cepat pula mendatangi Kopral Heri yang juga terluka, namun ia hanya terserempet peluruh di lengan atasnya. Namun demikian, dia masih bisa berdiri. Jelas darah mengucur dari lengannya yang terluka itu.
Dengan cekatan aku membuka baju Sersan Boy, kulihat ada dua lubang menganga dan terus mengalirkan darah dari tubuhnya. Aku tekan kuat-kuat lubang itu dengan perban. Perban cepat menjadi basah dan memerah, aku usap lagi lubang itu, keluar lagi darahnya, kayak pipa ledeng yang bocor.Lubang itu tepat di atas lambung dan di paru-paru kirinya. Darah juga sudah mulai keluar dari mulutnya. Matanya mulai sayu dan tangannya mulai dingin. Aku segera mengenggam erat tangannya. Dengan terbata-bata ia berkata..."Lex...maafin aku ya...tolong bilang sama keluargaku, aku mohon maaf karena gak bisa memenuhi janji..". Akhirnya Sersan Dua Boy dari Pleton 3 Kompi A, Batalyon Lintas Udara ke 1001, menghebuskan nafasnya terakhir dalam pangkuanku.
Pasukan tetap berada di posisi masing-masing sampai menjelang siang. Ketika armada hercules kembali datang dan menerjunkan perbekalan. Setengah jam kemudian, iring-iringan truk marinir yang disertai dengan kendaraan tempur amphibi dan tank BTR juga telah memasuki daerah yang kami duduki. Akhirnya selesai juga misi ini dengan sukses, walaupun aku kehilangan sahabat dan rekan tim terbaik. Semoga Allah SWT menerima amal ibadahmu.
ya begitulah seorang tentara, kuat mental, dan siap melaksanakan perintah atasan tanpa pengecualian. ttd colonel iron horse
BalasHapus